Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sampai Kapan Kita Menjadi "Korban" Sistem dan Praktik Ekonomi Bebas?

24 Januari 2018   23:52 Diperbarui: 25 Januari 2018   06:52 1829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: strategyand.pwc.com)

Mungkin sampai di sini ada yang berpikir begini: "apa justru malah akan merepotkan konsumen jika sistem jual beli di tempat-tempat modern itu menggunakan sistem tawar menawar? Memang betul jika sistemnya menjiplak mentah-mentah seperti transaksi di pasar tradisional.

Tetapi sebenarnya ada mekanisme yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk menghindari hal tersebut terjadi. Bukankah ada Kementerian Perdagangan yang bisa membuat sistem dan regulasi untuk mengawasi hal ini? Bukankah ada YLKI yang bisa ikut mengawasi praktik dan sistem transaksi yang berpotensi merugikan pihak konsumen tanpa menunggu ada kasus mencuat ke permukaan?

Sekarang ini seolah-olah, pedagang semau-maunya saja menentukan harga barang dagangannya dengan alasan pasar. Pasar yang akan menentukan tingkat harga berdasarkan standar tingkat persaingan. Jika konsumen mau, pasti dia membeli, jika tidak, ya tidak akan membeli. Pemerintah seperti tidak memiliki mekanisme pengawasan harga yang beredar di pasaran. Kecuali barang-barang tertentu.

Anehnya mekanisme pengawasan harga ini lebih banyak diberlakukan di pasar tradisional untuk bahan-bahan seperti makanan pokok saja. Tetapi bahan makanan pokok yang sama seperti tidak tersentuh oleh sistem tersebut jika dijual di tempat-tempat penjualan yang modern.

Saya tidak sedang berpikiran bahwa pemerintah harus membuat daftar harga yang sama untuk semua barang yang dijual di masyarakat dan kemudian mengawasinya. Cara seperti itu di samping konyol juga mustahil untuk dilakukan. Tetapi yang diharapkan adalah mekanisme yang mengatur lalulintas perubahan harga sebagai sebuah sistem yang mencerminkan keterlibatan dan intervensi pemerintah terhadap pasar.

Cara pikir ini memang naif. Naif karena kita sudah terbiasa dan dibiasakan dengan sistem transaksi berdasarkan market oriented dalam menentukan harga tanpa diintervensi oleh kebijakan pemerintah kecuali dalam beberapa hal saja. Naif dikarenakan kita secara tidak sadar sudah membenarkan cara-cara tersebut tanpa sikap kritis. Jika memang kritis, mengapa baru kali ini ada seseorang yang mempersoalkan selisih harga senilai ribuan perak?

Kasus sepele di atas yang terjadi baru-baru ini, menurut saya adalah fakta bahwa di negeri ini ada yang salah dalam hal sistem dan praktik ekonomi. Para pengamat dan pakar ekonomi tentu menyadarinya. Mereka lebih mengetahui secara mendalam akar permasalahan yang sesungguhnya. Ada yang mengatakan ini akibat sistem ekonomi yang diterapkan  adalah sistem liberal, neo-liberal atau kapitalis atau apa pun istilahnya.

Ada juga yang mengatakan ini akibat sistem ekonomi Pancasila tidak diterapkan dengan baik. Padahal dalam konstitusi kita sudah jelas-jelas dikatakan bahwa kita menganut sistem ekonomi dengan prinsip kebersamaan seperti dalam pasal 33. Ini karena sistem ekonomi koperasi tidak dijalankan. Banyak analisis yang akan muncul ke permukaan jika masalah ini dikupas secara mendalam oleh para pakar ekonomi.

Tetapi, opini dalam tulisan ini sederhana saja. Ini hanyalah opini di permukaan untuk merespons kasus yang muncul di atas yang dialami oleh kita-kita selaku konsumen wong cilik yang sedang meradang karena selisih harga ribuan perak.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun