Di mana pemerintah berdiri dalam membela masyarakat kecil dengan modal pas-pasan? Ketika warung-warung kecil tadi "wafat" karena gempuran pedagang di sekitarnya, adakah mereka protes ke pemerintah? Adakah pemerintah ikut "bela sungkawa" dengan menciptakan sistem alternatif untuk mencegah kematian yang lainnya? Tidak ada saya rasa.
Kalau sudah mati ya mati saja. Salah sendiri modalnya kecil dan tidak mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya yang lebih kuat permodalannya. Jika memang tidak bisa eksis dalam bidang yang memiliki persaingan ketat tersebut, cobalah ganti profesi dengan yang lainnya. Paling begitu sikap maksimal dan saran yang dimunculkan. Kadang-kadang malah ungkapan tersebut juga tidak ada.
Ini berarti bahwa praktik ekonomi di negeri ini seolah sudah benar-benar berkiblat pada ekonomi pasar bebas berbau-bau liberal (neo-liberal). Bukan hanya pasar bebas level regional dan global, namun juga pasar bebas level kampung dan desa. Tetapi di tempat yang disebut terakhir itu, bebas bukan berarti bebas untuk bisa eksis dalam persaingan. Namun bebas untuk "gulung tikar" dan "mati" kapan saja.
Mentalitas Pelaku
Sekarang mari kita lihat ke dalam realitas internal pelaku-pelaku praktik ekonominya. Bagaimana bisa sebuah perusahaan dengan skala nasional bisa semaunya saja menaikkan harga yang tidak diketahui oleh para konsumennya? Jika tidak ada kasus yang mencuat kemarin, apa manajemen puncak dari perusahaan tersebut angkat bicara?
Selama ini kesannya, fakta-fakta seperti itu dibiarkan saja berjalan alamiah. Seolah berkata: "nanti juga masalah kecil itu akan menguap dengan sendirinya. Toh kasus ini hanya reaksi temporer saja. Reaksi terbatas di tempat terbatas juga. Bukan merupakan reaksi nasional yang akan mengguncang stabilitas ekonomi nasional". Begitu kira-kira kalau dibahasakan.
Sikap tidak peduli selama ini yang terjadi mungkin dipicu oleh mentalitas yang menurut Prof. Dr. Sri Edi Swasono sebagai mentalitas to have more. Yang penting untungnya tambah banyak. Tidak urusan apakah mau memberitahukan dulu kenaikan harga atau tidak kepada konsumen. Toh selama ini konsumen juga tidak banyak protes.
Sistem dan mentalitas praktik ekonomi seperti ini jauh dari warisan budaya dan tradisi kita. Coba lihat di pasar tradisional. Bagaimana aktivitas penentuan harga dilakukan. Ada komunikasi dua arah antara penjual dan pembeli. Penjual berhak menentukan harga yang menurutnya pantas. Demikian juga konsumen berhak mengajukan penawaran harga yang menurutnya tepat.
Jika terjadi kesepakatan di antara keduanya, maka terlaksanalah transaksi jual beli itu. Keduanya sama-sama rela atas transaksi yang terjadi. Keduanya merasakan dan menjalankan sistem keterbukaan dalam penentuan harga yang kemudian disepakati bersama. Bukankah cara jual beli demikian yang secara etika, moral dan agama yang dibenarkan?
Sekarang bandingkan dengan proses transaksi jual beli menggunakan sistem penentuan harga sepihak. Adakah komunikasi dua arah tadi? Tidak ada tentunya. Konsumen dipaksa untuk membeli dengan harga seperti yang tercantum. Bagi yang tidak mempermasalahkan sistem demikian sebenarnya tidak ada persoalan selama itu jujur dan disepakati konsumen.
Tetapi ketika sistem seperti itu ditumpangi oleh "mental serakah" dengan cara menentukan perubahan harga sepihak bahkan tanpa diketahui oleh calon konsumen, jelas-jelas hal ini bertentangan dengan kode etik jual beli. Selain itu juga seolah memaksa konsumen. Tidak usah jauh-jauh mengukurnya dari segi etika keagamaan. Secara kepatutan saja sudah menyimpang.