Belakangan ini muncul kembali viral di media sosial setelah viral masalah SNI dari mainan anak-anak yang dibeli di luar negeri. Viral sekarang adalah viral mengenai kasus toko swalayan waralaba yang masuk sampai ke pelosok desa, melakukan keteledoran atau kelalaian atau kesengajaan dalam masalah menaikkan harga.
Seorang ibu membeli roti di toko tersebut dengan label harga yang dia yakini benar sesuai dengan yang tertera di rak pajangan. Setelah sampai di kasir dan melakukan pembayaran, diceklah nota pembayarannya. Eh harga yang tertulis di nota berbeda dari harga yang tertera di rak pajangan. Mulailah "cekcok" masalah harga ini di antara ibu tadi dengan kasir.
Kemudian, kejadian tersebut, dikuatkan kembali oleh bapak konsumen lainnya yang selama ini mengalami kasus yang sama. Bahkan bukan sekali dua kali, tetapi sering mengalami kejadian yang sama. Padahal konsumen tadi sudah sering protes, namun tidak pernah dihiraukan. Begitulah cerita singkatnya.
Bagi saya yang bukan pengamat ekonomi, dalam kasus ini ada beberapa pihak yang terlibat; konsumen (ibu dan bapak), pekerja (kasir dan supervisornya), pedagang (pemilik dan manajemen waralaba) dan pemerintah. Sebagai rakyat biasa, dalam pandangan saya, konsumen dan pekerja layak untuk dibela. Sedangkan pedagang harus ditegur secara serius (dalam kasus tersebut) dan pemerintah harus diingatkan agar bisa menertibkan.
Konsumen itu siapa? Ya kita-kita yang biasa membeli barang kebutuhan. Kadang kala beli di kaki lima, beli di warung kecil biasa, beli di pasar. Satu waktu ketika merasa punya uang karena sudah gajian, kita belanja kebutuhan ke mall atau toko swalayan yang ada AC-nya. Meskipun sebenarnya yang kita beli hanya sekedar sabun dan pasta gigi. Sekali-kali merasakan suasana belanja ala kaum berada dan borjuis.
Sebagai konsumen, adalah hak kita untuk belanja di mana pun. Toh uangnya juga uang kita sendiri. Ya terserah kita mau belanja apa dan di mana saja. Inilah kebebasan konsumen yang kita miliki. Sampai-sampai saking bebasnya konsumen memilih tempat belanja, ada peribahasa yang mengatakan "konsumen adalah raja."
Konsumen ibaratnya penguasa dalam hal dia memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk membeli apa, di mana dan dari siapa. Kebebasan yang sering menjadi objek bujukan dan rayuan para pedagang dan produsen agar melirik dan membeli barang atau jasa yang dihasilkannya. Upaya ini tampak dari berjibunnya iklan di mana pun yang bertujuan untuk membujuk mereka.
Benarkah mereka raja? Ah tidak juga. Sebutan raja tersebut sebenarnya hanya sanjungan semata agar mereka merasa dihargai, dimanjakan, dihormati dan gampang dibujuknya. Karena bagaimana mungkin seseorang akan mendekat ke kita jika kita menghina atau mengejeknya.
Coba saja katakan kepada para pembeli ketika kita menjual sesuatu kepada mereka bahwa mereka adalah gembel yang sedang mencari barang kebutuhan. Kira-kira bagaimana akibatnya? Saya yakin, bukan saja barang dagangannya tidak akan laku, tetapi bisa-bisa pedagang itu ditabok sampai babak belur.
Tetapi setelah para pembeli disanjung dengan perlakuan bak raja kemudian mereka menyerahkan uangnya ke pedagang yang dikiranya cocok dalam rangka transaksi barang yang dibutuhkan, kira-kira ada kepedulian setelah itu? Ada yang peduli ada yang tidak tentunya.