Di tengah badai kasus COVID-19 yang kian meroket, masyarakat dan pemerintah mencoba mencari eksplanasi dan scape-goat atau kambing hitam untuk disalahkan atas lonjakan kasus ini. Pasalnya, lonjakan kasus yang terjadi sangatlah signifikan. Secara nasional, pertambahan kasus seminggu terakhir (data per-28 Juni) sudah menunjukkan lonjakan kasus sebesar 240% dibanding periode yg sama pada bulan Mei lalu.Â
Dii beberapa wilayah tercatat lonjakan kasus di level mendekati ribuan persen, atau hampir 10 kali lipat. Misal DKI Jakarta yang mencatat 850% kenaikan kasus seminggu terakhir dibanding periode yang sama di bulan lalu. DIY yang mencatat 350% kenaikan, dan masih banyak lagi. Tidak hanya itu, kasus kematian pun terus menanjak seiring penuhnya rumah sakit dan kolapsnya fasilitas dan layanan kesehatan. Tercatat kasus kematian secara nasional melonjak 150%.
Parahnya Keadaan di DKI Jakarta
(CT) Community Transmission Level atau level penularan komunitas di DKI Jakarta sudah menyentuh level 4 atau level penularan tertinggi.Â
Dalam seminggu terakhir, di DKI Jakarta saja sudah terdapat 49,366 kasus baru atau sebanyak 470 kasus/100,000 penduduk . Angka ini 3 kali lipat standar minimal Community transmission level 4. Bisa dikatakan 3 kali lipat lebih berbahaya dari level penularan paling berbahaya.Â
Jumlah jenazah yang dimakamkan menggunakan protap COVID-19 (korban meninggal degan status positif COVID-19 + probable) dalam seminggu terakhir mencapai angka 1,117 jenazah atau 10,6 kematian/100,000 penduduk. Padahal threshold CT 4 untuk korban meninggal/minggu ada di angka >5 kematian/100,000 penduduk.Â
Kemudian dalam seminggu, ada 8,850 atau 84.3 kasus ranap (Rawat Inap) baru/100,000 penduduk di DKI Jakarta. Threshold CT 4 ada di level >30 kasus ranap baru/100,000 penduduk.
Dalam seminggu terakhir juga dicatat positivity rate atau tingkat positivitas di angka 34.4%. Padahal thershold CT 4 ada di angka >20%.
Lalu, hal apa yang dapat mendorong pertumbuhan kasus hingga bisa meledak seperti sekarang ini?
Beragam faktor tentunya. Mulai dari turunnya kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, mobilitas dan interaksi antar-warga yang meningkat pada periode puasa dan lebaran, hingga masuknya varian baru khususnya varian delta yang mempunyai daya tular yang sangat tinggi.