Hingga saat ini, tidak ada pengobatan definitif yang terbukti efektif untuk merawat pasien COVID-19. Perawatan pasien di rumah sakit pun seringkali mengandalkan kemampuan tubuh dan sistem imun pasien melawan infeksi SARS-CoV-2 dalam tubuh. Namun banyak juga pihak yang memakai obat-obatan seperti ivermectin, remdesivir, steroid-steroid seperti methylprednisolone dll. untuk pengobatan pasien COVID-19. Walaupun, sampai saat ini hanya terdapat 1 jenis obat yang terbukti dapat mengobati atau meringankan gejala hingga mengurangi mortalitas pada pasien COVID-19, yaitu adalah remdesivir.Â
Studi yang dilakukan oleh John H. Beigel dkk. pada tahun lalu menyimpulkan bahwa remdesivir lebih unggul daripada plasebo dalam mempersingkat waktu pemulihan pada orang dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19. tercatat angka kematian di hari ke 15 dapat menurun ke 6,7% dengan remdesivir dan 11,9% dengan plasebo. Sedangkan kematian di hari ke 29 menurun ke angka 11,4% dengan remdesivir, dari 15,2% dengan plasebo (Beigel, dkk., 2020).Â
Studi ini dilakukan dengan standar kedua tertinggi dalam penelitian kesehatan, yaitu double-blinded randomized clinical trial atau uji klinis yang dilakukan secara acak dan tersamar ganda agar hasil percobaan terbebas dari bias. Namun, remdesivir adalah obat yang mahal. Obat ini dihargai 3 juta-1.5 juta rupiah/vial-nya, atau 30-40 juta untuk serangkaian pengobatan remdesivir.Â
Maka dari itu, bentuk treatment lain dikembangkan banyak pihak. Salah satunya adalah terapi plasma konvalesen. Pengobatan pasien COVID-19 dengan terapi ini dilakukan dengan menginjeksi plasma darah dari orang yang telah sembuh dari COVID-19 dan mengandung antibodi SARS-CoV-2 yang disinyalir akan dapat membantu para pasien COVID-19 yang sedang dalam proses perawatan.
Pertama-tama, pendonor plasma akan diseleksi dan harus memenuhi beberapa kriteria.
Dilansir dari informasi UDD PMI, ada 14 kriteria inklusi untuk memenuhi syarat donor plasma konvalesen:
- Berusia 18 sampai 60 tahun
- Berat badan minimal 55 kg (sebab, pengambilan darah konvensional dengan kantong 450 ml)
- Pemeriksaan tanda vital yang normal yakni tekanan darah systole 90-160 mmHg, tekanan darah diastole 60-100 mmHg, denyut nadi sekitar 50 sampai 100 kali per menit, dan suhu tubuh kurang dari 37 derajat celsius.
- Terdiagnosis Covid-19 sebelumnya dengan real time PCR
- Sudah dinyatakan sembuh oleh rumah sakit
- Memiliki kadar Hemoglobin lebih dari 13.0 g/dL untuk pria dan lebih dari atau sama dengan 12.5 g/dL untuk wanita
- Tidak leukopenia, limfopenia, trombositopenia, neutrofil lymphocyte ratio (NLR) kurang dari atau sama dengan 3,13.
- Konsentrasi protein darah total lebih dari 6 g/dL atau albumin darah normal lebih dari 3,5 d/dL
- Hasil uji saring IMTL terhadap sifilis, hepatitis B dan C serta HIV dengan CLIA/Elisa non-reakif
- Hasil uji saring terhadap hepatitis B dan C serta HIV dengan NAT non-reaktif 11. Hasil skrining terhadap antibodi golongan darah negatif
- Hasil pemeriksaan Golongan Darah ABO dan rhesus dapat ditentukan
- Tidak memiliki riwayat transfusi sebelumnya
- Bersedia untuk menjalani prosedur plasmaferesis
- Untuk donor wanita dipersyaratkan belum pernah hamil dan tidak memiliki antibodi anti-HLA/anti-HNA (namun tidak telalu direkomendasikan).
Setelah pendonor memenuhi 14 syarat di atas, pendonor akan bisa mendonorkan plasmanya melalui proses plasmapheresis atau pemisahan plasma dengan sel darah lainnya.Â
Darah pendonor akan dialirkan ke mesin plasmapheresis yang akan memisahkan darah pendonor dengan plasmanya. Proses ini akan memakan waktu sekitar 90 menit. Darah pendonor yang sudah tidak berplasma kemudian dimasukkan kembali ke tubuh pendonor. Dengan begitu, hanya plasma yang akan terambil, mengakibatkan pendonor bisa pulih lebih cepat serta bisa melakukan donor lagi 2 minggu setelah proses donor sebelumnya.
Saat plasma dari pendonor sudah siap untuk digunakan, terapi plasma konvalesen dapat langsung dilakukan dengan menyuntikkan plasma konvalesen ke tubuh pasien.Â
Banyak laporan dan uji klinis yang sudah dilakukan untuk membuktikan keefektifan terapi plasma konvalesen. Namun, saya hanya akan memaparkan laporan hasil penelitian yang dilakukan menggunakan uji meta-analisis dan kajian sistematik, yang mana merupakan standar tertinggi dalam penelitian kesehatan menggunakan prinsip EBM (Evidence-Based Medicine). Hasil penelitian inilah yang dapat dijadikan bukti dari aman/tidaknya dan efektivitas penggunaan TPK (terapi plasma konvalesen) pada pasien COVID-19.
1. Studi Lajos Szakó dkk., Februari 2021 (tinjauan sistemik dengan meta-analisis)
Kesimpulan hasil studi: TPK mungkin merupakan alternatif yang baik untuk mencegah efek negatif COVID-19, tetapi manfaat yang jelas masih belum jelas.Â
2. Studi Luo Wenjing dkk., Desember 2020 (tinjauan sistematik dengan meta-analisis)
Kesimpulan hasil studi: Terapi plasma konvalesen tampaknya aman untuk perawatan pasien COVID-19, dan pasien yang diobati dengan plasma telah menunjukkan penurunan viral load serum mereka dan sebagian besar negatif virus setelah transfusi. Pasien dengan COVID-19 parah mendapat manfaat lebih dari transfusi plasma pemulihan daripada pasien kritis. Sementara itu, pasien yang diberikan perawatan TPK pada tahap awal lebih mungkin untuk bertahan hidup daripada yang tidak.
3. Studi Bikash Ranjan Meher dkk., Desember 2020 (tinjauan sistematik dengan meta-analisis)
Kesimpulan hasil studi: Meskipun hasil tinjauan ini menyimpulkan bahwa penggunaan TPK dapat mengurangi all-cause mortality (semua penyebab kematian), memperbaiki gejala klinis, dan membersihkan virus lebih awal pada pasien COVID-19, hasil ini harus ditafsirkan dengan hati-hati.
4. Studi Karthick Rajendran dkk., Mei 2020 (tinjauan sistematik)Â
Kesimpulan hasil studi: Saat ini, tidak ada pilihan terapi yang dapat diandalkan untuk pasien yang terjangkit COVID-19 yang sakit kritis. Namun, berdasarkan data klinis terkonsolidasi yang berasal dari lima penelitian independen terhadap 27 pasien, ditunjukkan bahwa TPK dapat menjadi pilihan terapi yang efektif (selain obat antivirus / antimikroba) Â yang menjanjikan mengenai keamanan, perbaikan gejala klinis, dan penurunan angka kematian.Â
Dari 4 hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa walau tidak dapat dibuktikan secara jelas dan signifikan, TPK dapat mempengaruhi hasil perawatan pasien COVID-19. Di antaranya adalah dapat mengurangi angka mortalitas, memperbaiki gejala klinis, dan yang paling penting adalah aman untuk digunakan dengan sangat sedikit adverse events atau efek samping pemberian perawatan.
Namun, kita harus lebih kritis terhadap hasil-hasil ini.
Apakah TPK akan efektif ke semua golongan pasien?
Jawabannya tidak. Untuk mengetahuinya, kita perlu membuka hasil uji klinis acak tersamar ganda yang sudah dilakukan. Hal ini agar kita dapat melihat secara lebih mendetail mengenai profil dan latar belakang subjek uji coba.Â
Misalnya, uji klinis yang dilakukan di India terhadap pasien COVID-19 yang 94% berjenis kelamin laki-laki, dengan rata-rata umur 34 tahun dan dengan rerata lama sakit sebelum perawatan 6 hari, mengemukakan bahwa penggunaan TPK tidak berpengaruh signifikan dalam menekan angka kematian, namun terbukti dapat mengurangi gejala sesak napas dan kelelahan pada pasien. Dalam hasil uji klinis lainnya yang dilakukan di  Argentina, yang menguji TPK dengan kontrol plasebo pada pasien COVID-19 dengan komorbiditas sebesar 64.5% dan lama sakit 8 hari, menunjukkan bahwa tidak ada perbaikan signifikan pada angka mortalitas pasien yang membutuhkan tambahan oksigen. Artinya memang tidak semua pasien COVID-19 jika diberikan TPK akan menghasilkan hasil yang lebih baik.
Lalu, kepada siapa TPK ini lebih baik untuk diberikan?
Uji klinis lain dari Argentina menunjukkan bahwa pada pasien berumur lanjut dan dengan komorbiditas tinggi pun TPK dapat menjadi pengobatan yang efektif dalam menurunkan risiko kematian pasien. Rerata umur subjek di uji klinis ini ada di angka 77.2 tahun, artinya memang pasien-pasien berusia lanjut. Kemudian komorbiditas ada di angka 78%-86%, yang berarti sangat tinggi. Namun, yang membedakan dari uji klinis sebelumnya adalah pada fungsi waktu pemberian perawatan TPK dan tingginya titer plasma yang diberikan. Di dalam uji klinis ini, para subjek penelitian merupakan orang yang baru terdeteksi positif COVID-19 dan baru menunjukkan gejala mulai dari 38.3-39.6 jam terakhir. Dibandingkan uji klinis sebelumnya, waktu pemberian TPK pada pasien di uji klinis ini jauh lebih cepat (<3 hari, sementara yang lain >6 hari). Hasilnya, angka mortalitas turun ke angka 3.8%.
Lalu, bagaimana jika kita menganalisis problem lain yang ada dalam pemberian TPK, yaitu ketersediaan plasma konvalesen. Tingginya demand plasma membuat ketersediaan plasma konvalesen yang tersedia menipis. Maka dari itu, pengguanaannya harus efektif dan efisien.Â
Jika ada bukti yang jelas efektif dan belum jelas efektif, maka dokter sebagai klinisi wajib menggunakan bukti terbaik untuk menjamin keselamatan pasien. Namun, dokter yang bertugas tidak hanya memiliki 1 pasien COVID-19 saja. Banyak pasien yang harus dirawat, bahkan mengantre untuk dirawat.Â
Maka dari itu, untuk menjaga efisiensi dan efektivitas perawatan pasien COVID-19, pemberian TPK harus lebih jeli. Karena TPK terbukti lebih efektif diberikan kepada pasien dengan deteksi dini. Sedangkan pemberian TPK pada pasien bergejala sedang, berat, ataupun kritis terbukti tidak efektif dalam menurunkan angka kematian pasien. Maka demi efisiensi, TPK harusnya diberikan pada mereka yang terdeteksi lebih awal dari awal munculnya gejala, bukan untuk mereka yang sudah bergejala berat dan kritis. Pemberian TPK juga harus ditujukan kepada mereka yang memiliki komorbid dan berusia lanjut, bukan kepada pasien muda dan atau tanpa komorbid. Artinya, untuk efisiensi tertinggi pemberian TPK, harusnya diberikan kepada mereka yang lebih awal terdeteksi, memiliki komorbid, dan berusia lanjut.
Terimakasih
Referensi
Agarwal Anup, dkk., 2020. Convalescent plasma in the management of moderate covid-19 in adults in India: open label phase II multicentre randomised controlled trial (PLACID Trial) BMJ 2020; 371 :m3939
Romina Libster, dkk., 2021. Early High-Titer Plasma Therapy to Prevent Severe Covid-19 in Older Adults. DOI: 10.1056/NEJMoa2033700
Ventura A. Simonovich, dkk., 2020. A Randomized Trial of Convalescent Plasma in Covid-19 Severe Pneumonia. DOI: 10.1056/NEJMoa2031304
Rajendran K, Krishnasamy N, Rangarajan J, Rathinam J, Natarajan M, Ramachandran A. Convalescent plasma transfusion for the treatment of COVID-19: Systematic review. J Med Virol. 2020;92(9):1475-1483. doi:10.1002/jmv.25961Â
Wenjing L, Yuanzheng F, Li JY, Tang LV, Yu H. Safety and efficacy of convalescent plasma therapy in severely and critically ill patients with COVID-19: a systematic review with meta-analysis. Aging (Albany NY). 2020 Dec 15;13(1):1498-1509. doi: 10.18632/aging.202195. Epub 2020 Dec 15. PMID: 33323550; PMCID: PMC7835046.Â
Meher BR, Padhy BM, Das S, Mohanty RR, Agrawal K. Effectiveness of Convalescent Plasma Therapy in the Treatment of Moderate to Severe COVID 19 Patients: A Systematic Review and Meta-Analysis. J Assoc Physicians India. 2020 Dec;68(12):35-43. PMID: 33247641.Â
Szakó, L., Farkas, N., Kiss, S. et al. Convalescent plasma therapy for COVID-19 patients: a protocol of a prospective meta-analysis of randomized controlled trials. Trials 22, 112 (2021). https://doi.org/10.1186/s13063-021-05066-2Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H