Mohon tunggu...
Mahawikan Akmal
Mahawikan Akmal Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Tulisanku sebagai warisan abadi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintah Sebenarnya Niat 2T + Isolasi Nggak Sih?

3 Februari 2021   15:39 Diperbarui: 3 Februari 2021   15:57 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafik jumlah tes COVID-19 harian/1000 orang populasi di berbagai negara per 29 Januari 2021. via:ourworldindata.org

Sudah hampir 1 tahun kita bergelut dengan penyebaran COVID-19 di Indonesia. Namun, keadaan pandemi COVID-19 di Indonesia belum membaik juga. Negara-negara lain dapat menurunkan kurva pertambahan kasusnya, walaupun setelah turun ada yang naik lagi. Namun ada juga negara yang dapat menurunkan kurva kasus sampai mendekati 0, dan bahkan ada yang dapat menjaga angka kasus harian di angka 0 kasus secara konsisten.

Kitapun bertanya pada diri sendiri, khususnya pada pemegang kebijakan pengendalian penyebaran dan pencegahan penularan COVID-19 di dalam negeri. Apa yang strategi yang kurang, salah, atau belum optimal penerapannya?

Apa yang terlewat?

Jawabannya tentu saja penerapan program Testing, Tracing, dan Isolasi. Sebelum kita membahas niatnya pemerintah melaksanakan 2T+Isolasi, kita bahas dulu pentingnya program ini dalam usaha pengendalian pandemi.

Pentingnya Testing, Tracing, dan Isolasi

"You cannot fight a fire blindfolded. And we cannot stop this pandemic if we don't know who is infected."
(Kamu tidak bisa melawan api dengan mata tertutup. Dan kita tidak dapat menghentikan pandemi ini jika kita tidak tahu siapa yang terinfeksi.)
"We have a simple message for all countries: test, test, test."
(Kami memiliki pesan sederhana untuk semua negara: tes, tes, tes.)
(Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, 2020)

Testing dapat menentukan apakah seseorang terinfeksi virus SARS-CoV-2, terlepas dari apakah mereka memiliki gejala atau tidak, dan apakah mereka berisiko menularkan infeksi kepada orang lain atau tidak. Menurut NIH (National Institute of Health) atau Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat (2020), hal ini akan membantu dalam pengambilan tindakan lanjutan untuk mencegah penyebaran infeksi (proses tracing). Selain itu, penting juga untuk melakukan testing terhadap orang-orang yang telah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi virus SARS-CoV-2.

Dengan melakukan testing, individu dan kluster yang terinfeksi akan terdeteksi. Karena diketahui bahwa hampir setengah dari semua infeksi yang terjadi, ditularkan oleh orang yang asymptomatic. Dengan begitu, mengidentifikasi individu yang terinfeksi saat mereka asymptomatic, serta mereka yang presymptomatic, akan memainkan peran penting dalam menghentikan pandemi COVID-19 ini (NIH, 2020). 

Sementara itu, pelaksanaan tracing dan isolasi menjalankan peran penting dalam mencegah penularan lebih lanjut. Dengan melacak kontak erat para pasien COVID-19, otoritas kesehatan setempat dapat memetakan risiko penularan lanjutan. Semua yang berkontak erat dengan pasien memiliki risiko tertular yang relatif lebih tinggi daripada orang biasa. Maka dari itu, mereka harus melakukan isolasi, entah itu difasilitasi pemerintah setempat atau dengan isolasi mandiri di rumah. Isolasi dilakukan 3-10 hari tergantung muncul atau tidaknya gejala klinis COVID-19. Setelah itu dilakukanlah testing antigen untuk memastikan apakah pasien mengidap COVID-19 atau tidak. Hal ini akan berperan penting bagi usaha pemutusan rantai penularan.

Testing dan tracing merupakan tonggak utama usaha surveilans epidemiologis. Sementara isolasi adalah tiang pemutus rantai penularan COVID-19.

Niat Nggak Sih Pemerintah?

Saya nggak tahu ya pemikiran dan niat pemerintah sebenarnya seperti apa. Kita lihat data-datanya aja langsung.

Grafik jumlah tes COVID-19 harian/1000 orang populasi di berbagai negara per 29 Januari 2021. via:ourworldindata.org
Grafik jumlah tes COVID-19 harian/1000 orang populasi di berbagai negara per 29 Januari 2021. via:ourworldindata.org

Dapat dilihat bahwa grafik tes harian Indonesia kalah jauh dengan negara-negara lain seperti UK dan USA, bahkan kalah dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Terlihat bahwa grafik Indonesia hanya berupa garis lurus tanpa kenaikan jumlah testing yang signifikan. 

Grafik jumlah tes COVID-19 harian/1000 orang populasi di Indonesia negara per 29 Januari 2021. via:ourworldindata.org
Grafik jumlah tes COVID-19 harian/1000 orang populasi di Indonesia negara per 29 Januari 2021. via:ourworldindata.org

Sedangkan, jika kita melihat grafik khusus Indonesia, terlihat bahwa terjadi kenaikan dalam grafik tes harian/1000 orang penduduk. Namun, perubahan ini tidak terlihat jika dibandingkan grafik yang sebelumnya. Ini mengindikasikan rendahnya jumlah tes harian yang dilakukan di Indonesia sampai-sampai jika kita membandingkan dengan performa negara lain, maka grafik Indonesia sangat tidak berpengaruh. Dalam guideline-nya, WHO menganjurkan agar jumlah testing >1 tes/1000 populasi/minggu. Artinya jumlah tes/hari minimal ada di 0.14 populasi/hari. WHO mengkategorikan jumlah testing di bawah itu sebagai limited "kurang". Sedangkan, untuk 1-2 tes/hari dikategorikan sebagai moderat, dan >2 sebagai cukup. 

Melihat grafik di atas, Indonesia baru konsisten keluar dari kategori kurang di pertengahan Januari 2021. Sedangkan, 10 bulan sebelumnya jumlah testing COVID-19 di Indonesia masih di kategori kurang (<0.14 tes/1000 populasi/hari). Secara teknis saja jumlah testing COVID-19 di Indonesia masih terbilang kurang dari cukup (<2 tes/1000 populasi/minggu atau 0.28 tes/populasi/hari). Secara praksis apalagi.... jauh dari kata cukup.

Grafik jumlah positivity rate di berbagai negara per 26 Januari 2021. via:ourworldindata.org
Grafik jumlah positivity rate di berbagai negara per 26 Januari 2021. via:ourworldindata.org

Rendahnya jumlah tes ini mengakibatkan penyebaran dibiarkan tak terkendali. Ini tercermin dari positivity rate testing COVID-19 di Indonesia yang amat tinggi. Dalam guideline-nya, WHO mengkategorikan tingkat penularan di masyarakat dengan 4 kategori CT (Community Transmission atau transmisi komunitas). Salah satu indikatornya adalah positivity rate dalam periode dua minggu terakhir.

Untuk CT 1:Insidensi kasus rendah, positivity rate <2%
Untuk CT 2:Insidensi kasus sedang, positivity rate 2% - < 5%
Untuk CT 3: Insidensi kasus tinggi, positivity rate 5% - <20%
Untuk CT 4: Insidensi kasus sangat tinggi , positivity rate 20%+

Baca Tulisan saya mengenai indikator pandemi di sini

Tercatat Positivity rate di Indonesia konsisten di atas 20% sejak awal Januari 2021 lalu. Dengan trend positivity rate yang naik dan menembus level 25%-30%, maka Indonesia mempunyai CT level 4 atau CT tertinggi yang menandakan penularan sangat tinggi.

Grafik testing dan positivity rate 10 provinsi di Indonesia per  27 Januari 2021. via: WHO situation report - 40 (Indonesia)
Grafik testing dan positivity rate 10 provinsi di Indonesia per  27 Januari 2021. via: WHO situation report - 40 (Indonesia)

Tidak hanya angka tes secara keseluruhan yang dapat kita pertanyakan. Penerapan testing juga harus merata dan sesuai dengan kebutuhan jumlah penduduk. Terlihat bahwa testing di DKI Jakarta sangat tinggi relatif terhadap testing di provinsi lainnya. Ini menandakan ketidakmerataan testing yang bisa menjadi biang bias interpretasi data. Secara nasional sudah >=1 tes/ 1000 populasi/minggu. Tapi kenyataannya jumlah itu selalu menumpuk di DKI Jakarta. Bagaimana dengan provinsi lain? Memangnya penularan terbatas di DKI saja? Buktinya positivity rate di daerah lain sangat tinggi, menandakan tingginya level transmisi penyakit.

Bagaimana dengan tracing+isolasi?

Well...., singkatnya: sangat buruk.

Problem tracing dan isolasi adalah turunan dari problem testing. Karena testing merupakan hulu dari tracing + isolasi. Tanpa testing bagaimana kita mengetahui siapa yang terinfeksi, jika tidak tahu siapa yang terinfeksi siapa yang mau ditrace dan diisolasi? Walaupun dengan jumlah testing yang rendah, performa tracing dan isolasi di Indonesia masih belum memuaskan juga kok.

Indeks RLI daerah-daerah di Indonesia per 1 Februari 2021. via: twitter @KawalCOVID19
Indeks RLI daerah-daerah di Indonesia per 1 Februari 2021. via: twitter @KawalCOVID19

Grafik di atas adalah grafik peta indeks RLI atau Rasio Lacak + Isolasi yang dibuat oleh kawalcovid19 per tanggal 1 Februari lalu. Rasio lacak + isolasi dibuat untuk menakar performa tracing (lacak) + (isolasi) melalui kuantifikasi pelacakan. Singkatnya, RLI adalah jumlah suspek/kasus yang terkonfirmasi. 

Terlihat bahwa di sebagian besar wilayah Indonesia, indeks RLI ada di warna oranye kemerahan, bahkan hitam di beberapa wilayah seperti Papua Barat dan Bali. Ini menandakan rendahnya RLI atau dengan kata lain sedikitnya orang yang dilacak.

Idealnya, pelackaan atau tracing dilakukan pada setiap orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 dan memiliki kontak erat, sehingga setiap kasus terkonfirmasi bisa didapatkan minimal 30 orang suspek. Setiap suspek kemudian diisolasi, diobservasi, dan dites pada hari >5 setelah kontak.

Dengan penerapan tracing yang benar, risiko penularan yang ada bisa dicegah dan rantai penularan akan terputus.

Perbandingan dengan India

Loh kenapa membandingkan dengan India? Loh kenapa tidak?

Grafik perbandingan pertambahan kasus COVID-19 antara Indonesia dan India per 31 Januari 2021.
Grafik perbandingan pertambahan kasus COVID-19 antara Indonesia dan India per 31 Januari 2021.

Terlihat dengan jelas kurva pandemi India adalah kurva yang menunjukkan improvement. Walaupun di puncak pandemi India bisa mencatatkan hampir 100,000 kasus/hari, tingkat infeksinya sudah menurun dengan perkembangan yang sangat bagus.

Infografik milik ig:@pandemictalks
Infografik milik ig:@pandemictalks

Melansir @pandemictalks di instagram, strategi testing India berhasil menekan pertumbuhan kasus COVID-19. Hal ini dikarenakan strategi testing India yang efektif, juga dilaksanakan dengan baik. India dapat meningkatkan kapasitas testingnya dengan menambah infrastruktur penunjang testing dari 13 laboratorium menjadi 2,360 laboratorium dalam waktu kurang dari 1 tahun. Dengan begitu, kini India dapat melakukan 5.2 juta tes COVID-19/minggunya. Ini melebarkan kriteria warga yang dapat dites secara gratis di sana. Ibarat memakai jaring pancing yang sangat lebar hingga dapat menangkap banyak kasus infeksi di masyarakat. Jumlah 5.2 juta tes/minggu ini sangat masif jika dibandingkan Indonesia yang baru mengetes 6.2 juta orang sepanjang pandemi COVID-19. 

Miris dan memalukan.

infografik milik :  ig @pandemictalks
infografik milik :  ig @pandemictalks

Selain itu, strategi tracing yang agresif juga disinyalir menjadi palu godam penekan penyebaran COVID-19 di India. Melansir dari @pandemictalks, petugas tracer di India akan mengunjungi orang yang merupakan kontak erat pasien COVID-19, hingga dapat mendeteksi 80% kontak dalam waktu 3 hari. Selain itu, warga diwajibkan untuk membantu proses tracing dengan mengunduh aplikasi pemantau mobilitas di smartphonenya. 

Terbukti dengan testing dan tracing yang "niat", India dapat menurunkan jumlah kasus harian dan melonggarkan kebijakan pembatasan sosialnya.

Jadi apa lagi yang ditunggu pemerintah Indonesia untuk segera memantapkan "niat" dalam penerapan program testing dan tracing yang masih terbengkalai?

Referensi:

Adam J Kucharski, Petra Klepac, Andrew J K Conlan, Stephen M Kissler, Maria L Tang, Hannah Fry, Julia R Gog, W John Edmunds. 2020. Effectiveness of isolation, testing, contact tracing, and physical distancing on reducing transmission of SARS-CoV-2 in different settings: a mathematical modelling study. The Lancet Infectious Diseases 20(10): 1151-1160

Why COVID-19 testing is the key to getting back to normal. (6 November 2020)

WHO. 2020. WHO Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Situation Report – 40 (27 Januari 2021) Indonesia.

 Serial Data Virus Korona 1: 3T (Trace, Test, Treat)  (3 November 2020)

Serial Data Virus Korona 2: Rasio Lacak – Isolasi (RLI) dan Korelasinya dengan Kematian Kumulatif .

Testing Overview. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/testing-overview.html (8 November 2020)

Ritchie, HannahEsteban Ortiz-Ospina, Diana Beltekian, Edouard Mathieu, Joe Hasell, Bobbie Macdonald, Charlie Giattino, dan Max Roser. (2020) Statistics and Research: Coronavirus (COVID-19) Testing

Saputri, D. dan Dikrama, K. 2020. Kesenjangan Rasio Tes Covid Antara Jakarta dan Daerah Lain. (8 November 2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun