Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Model - Art Modeling

Hanya seorang lelaki biasa yang senang mendengar hatimu bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tanah Menangis: Jejak Tertinggal di Akar Kehidupan

26 Januari 2025   16:54 Diperbarui: 26 Januari 2025   16:54 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara ilmiah, tanah mencerminkan kesehatan lingkungan dan keanekaragaman hayati suatu wilayah. Kehilangan lapisan humus akibat deforestasi dan urbanisasi adalah bukti bahwa hubungan manusia dengan tanah semakin rapuh. Badan Bank Tanah memiliki peran kritis dalam menjaga tanah sebagai aset, namun juga sebagai ruang spiritual dan ekologis di mana kehidupan dapat berkembang.

Epilog: Tanah, Takdir yang Kita Tanam

"Penambang dunia,
berapa harus hilang?
Tanah menjadi langit.
Langit kehilangan warna.
Merah senja, luka.
Cermin kehancuran."

(Bait ke 5, M Sanantara, 2025)

Apa yang kita lakukan pada tanah hari ini adalah apa yang kita wariskan pada masa depan. Jika tanah terus dieksploitasi tanpa batas, ia akan menjadi langit yang kehilangan warna. Namun jika kita merawatnya dengan keadilan, tanah akan menjadi takdir yang penuh janji.

Reforma agraria melalui Badan Bank Tanah adalah peluang besar untuk menanam ulang harapan, untuk menyemai keadilan di tanah ini. Namun, harapan ini hanya dapat terwujud jika kita melihat tanah bukan sekadar objek, tetapi subjek yang hidup—tempat manusia menemukan arti terdalam dari terbenam ke dasar inti bumi.

Dalam semangat ini, setiap kebijakan yang diambil oleh Badan Bank Tanah harus mencerminkan penghargaan terhadap tanah sebagai sumber kehidupan dan bukan sekadar komoditas. Jika kita mendalami prinsip keadilan distribusi dan keberlanjutan ekologis, kita akan menanam benih-benih keadilan yang kelak akan tumbuh menjadi pohon kehidupan yang membawa harapan bagi generasi mendatang.

Karena pada akhirnya, tanah adalah cermin jiwa kita. Apa yang kita tanam padanya, akan tumbuh dalam setiap detak hidup kita. (*)

Tentang penulis:
M Sanantara, lahir di Bogor, 650 SM. Sarjana botani, penikmat dosa, lukisan impresionisme, dan berpuisi dimana saja asal bukan di alam kubur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun