Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang keberadaan dan hakikat sesuatu. Dalam konteks ini, tanah bukan hanya objek fisik, tetapi entitas yang memiliki makna mendalam dalam hubungan manusia dengan dunia. Tanah adalah dasar dari kehidupan, tempat di mana makna dan eksistensi manusia berakar.
"Bau garam menggantung di udara.
Embun tak sempat mencium daun.
Kehilangan merambat.
Pelan. Pasti."(Bait ke 2, M Sanantara, 2025)
Refleksi:
Keheningan itu, yang terasa dalam bau garam yang menggantung di udara, menggambarkan kesunyian yang perlahan merambat di tanah. Kehilangan itu bukanlah sesuatu yang langsung terlihat, melainkan suatu proses yang terjadi secara perlahan, seperti akar yang perlahan tercabut dari tanahnya. Apa yang kita rusak hari ini, akan memengaruhi masa depan kita.
Filsafat tanah tidak dimulai dari peta atau regulasi, tetapi dari relasi eksistensial antara manusia dan dunia yang dipijaknya. Tanah adalah Das Ding an sich—realitas yang melampaui fungsi ekonominya. Ia adalah ibu kosmis yang melahirkan dan menerima kembali manusia.
Secara biologis, tanah adalah ekosistem kompleks yang penuh kehidupan. Mikroorganisme, cacing tanah, dan akar tumbuhan saling berinteraksi, menciptakan siklus nutrisi yang menopang semua makhluk hidup. Namun, modernitas telah mengubah tanah menjadi objek yang hanya diukur melalui harga, sertifikat, dan potensi eksploitasi tanpa batas. Di sinilah pentingnya Badan Bank Tanah—bukan sekadar sebagai lembaga administratif, tetapi sebagai penyeimbang yang menanamkan kembali kesadaran kita tentang pentingnya keberlanjutan ekologis dalam setiap kebijakan yang diambil.
Reforma agraria, dalam konteks ini, bukan hanya redistribusi tanah, tetapi pemulihan hubungan antara manusia dan tanah, memulihkan tanah sebagai ruang etis di mana keadilan dapat tumbuh.
Reforma Agraria sebagai Praxis: Antara Nyata dan Ideal
"Tanah bertanya.
Gunung diratakan.
Laut dijinakkan.
Hati—
kuburan sunyi,
nyanyian angin, gema sendiri."(Bait ke 3, M Sanantara, 2025)
Refleksi: