Tanah, Tempat Menumbuhkan Harapan dan Cerita
Tanah adalah garis-garis yang mengukir eksistensi manusia, sebuah janji yang ditanam namun sering kali dilupakan. Dalam setiap genggamannya, ia menyimpan keluh kesah dan ambisi, harmoni dan penghancuran. Tetapi, apa artinya tanah jika kehilangan jati diri sebagai tempat kemungkinan bertumbuh? Sebagai ruang untuk mimpi dan akar yang melekat?
"Perasaan ini,
kain merah membalut rambu senja.
Kau sisir samudera, gelombang sunyi.
Lupa mengarungi,
air mata sepi tumpah di dada malam."(Bait ke 1, M Sanantara, 2025)
Refleksi:
Dalam kebisuan malam, perasaan itu mengalir. Seperti gelombang sunyi yang tak terungkapkan, tanah pun berteriak dalam keheningan—kehilangan akan jati diri yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya mimpi. Kita sering lupa, bahwa di setiap langkah kita di atas tanah, ada sejarah yang terabaikan.
Di negeri yang penuh janji ini, tanah sering kali menjadi medan pertempuran tak berkesudahan. Ia diperdebatkan, dipetakan, dipindahtangankan, dialihfungsikan secara amoral dan nonhumanis, tetapi jarang dimengerti. Tanah, yang seharusnya menjadi tempat manusia mengakar, kini menjadi instrumen kekuasaan yang mencabut akar itu sendiri. Lalu, di masa mendatang nanti, kepada jiwa yang lelah hendak menuju alam kematian, dimanakah ia harus mengubur diri? Namun, bagaimana kebijakan agraria yang dikendalikan oleh Badan Bank Tanah dapat memperbaiki relasi ini dan mencegah tanah jatuh ke tangan yang salah?
Badan Bank Tanah: Janji atau Ilusi
Badan Bank Tanah, yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021, berperan sebagai lembaga yang bertugas mengelola dan memastikan akses yang adil terhadap tanah. Lembaga ini berjanji untuk menjadi agen perubahan dalam memperbaiki distribusi tanah yang merata bagi kepentingan sosial, pembangunan, dan reforma agraria. Namun, janji ini tidak boleh hanya menjadi bait kosong dalam lagu kebijakan agraria yang tak pernah selesai.
Sebagai entitas yang dikelola oleh negara, Badan Bank Tanah memiliki potensi besar untuk memperbaiki ketimpangan yang terjadi dalam relasi antara manusia dan tanah. Namun, dalam prakteknya, apakah ia benar-benar bisa menjadi perwujudan dari keadilan yang kita dambakan, atau justru hanya akan menjadi mesin administratif yang menghitung tanah sebagai komoditas, bukan sebagai sumber kehidupan? Pertanyaan ini lebih dari sekadar birokrasi—ia adalah soal bagaimana kita memandang tanah itu sendiri: sebagai entitas yang hidup atau sekadar aset yang dipertukarkan.
Seiring dengan terbentuknya Badan Bank Tanah, kita mesti bertanya: bagaimana lembaga ini dapat memastikan bahwa tanah yang ada di tangan negara benar-benar disalurkan ke mereka yang membutuhkan, bukan dikuasai oleh korporasi besar atau individu yang sudah berada dalam posisi kuasa? Tanah adalah warisan yang harus dirawat dengan penuh tanggung jawab, dan inilah ujian bagi Badan Bank Tanah. Apakah ia akan mampu menjaga tanah sebagai tempat tumbuhnya mimpi, atau justru terjerat dalam praktik-praktik yang menihilkan makna sejati dari tanah itu sendiri?
Contoh nyata dari ketidakmampuan lembaga ini untuk berpihak pada rakyat kecil bisa dilihat di Kabupaten Wonogiri, di mana ekspansi tambang semen yang mengancam tanah petani kecil menciptakan ketimpangan yang semakin dalam. Sementara tanah yang diambil untuk kepentingan umum konon bertujuan untuk pembangunan, kenyataannya malah memperburuk kesejahteraan masyarakat dan menghancurkan ekosistem yang selama ini mendukung kehidupan mereka. (Selengkapnya, baca di sini).