Mohon tunggu...
Ismaharani Lubis
Ismaharani Lubis Mohon Tunggu... wiraswasta -

single mommy www.maharanilubis.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[ECR4] Ijinkan Aku Merampasmu

8 Juli 2012   11:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:11 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit desa kemerahan, pertanda senja datang menggantikan mentari yang sudah selesai bertugas menyinari desa yang cantik dan penuh romansa. Mahar masih duduk di beranda. Suara El mengumandangkan adzan dari masjid desa terdengar tegas, mengajak umat Islam di desa untuk segera menunaikan sholat Maghrib. Saat hendak beranjak masuk, seorang pria setengah baya lewat, memakai baju koko putih dan kopiah hitam berjalan tergesa. Mahar tak jelas, sepertinya bukan seseorang yang sudah dikenalnya. Pak RW Edi?? Bukan, karena pria ini terlihat lebih muda. Bocing? Bukanlah! Perawakannya jauh lebih gagah dibandingkan bocing yang kuyu dan mengkerut. Mas Hans juga bukan, sore tadi ke propinsi di panggil Gubernur yang rencananya minggu depan mau dolan ke desa. Karena tak berambut kribow, sudah bisa dipastikan laki-laki itu juga bukan mas Inin. Om Garong? Terlalu langsing, gak mungkin juga Om Garong diet. Beritanya gak ada di mading desa kok. Ki Dalang juga engga, masih sibuk di gunung nyari kumbang berkaki emas katanya. Rambut hitam yang menyembul dari belakang kopiah juga memastikan kalau dia bukan pak RT Ibay. Lalu siapa??? Mahar bertanya penasaran sambil berlalu ke dalam rumah.

*****

Sorenya di kios kripik Sekar...

"Eh, jeng Mahar sudah kenal mas Firman belum? sini kenalan dulu." Sekar si pengantin baru yang makin hari makin cerewet sore itu mengenalkan Mahar pada Firman. Laki-laki ini yang ku lihat kemarin, batin Mahar girang, langsung pasang senyum manis. Biasalah, janda tanpa anak yang getol nyari suami ini memang rada sok imut kalau liat pria2 rangkat yang terkenal romantis.

"Mahar, pemiilik toko roti Sedaf Manstaff. Silahkan mampir ke toko saya mas Firman, sebagai ucapan welkam ke desa saya kasih roti buaya gratis deh." Rayuan lapuk Mahar mulai dilancarkan saat menerima jabat tangan Firman.

" Firman, bukan siapa-siapa tapi bisa apa-apa." Jawaban diplomatis yang sedikit lebay malah membuat Mahar tertawa lebar. Gak sadar kalau ada serpihan cabe yang nempel di gigi. Sekar yang melihat langsung ngasi kode Mahar buat tutup mulut dengan tangan. Untunglah Mahar tanggap. Firman yang melihat hanya tersenyum ringan. Setelah ngobrol sebentar, Firman pamit pulang.

"Sekar, Firman ganteng juga yah." tanpa basabasi Mahar memuji Firman di hadapan Sekar.

"Trus jeng Mahar naksir nih?? Aduuuhhh... Mahar kamu tuh ya semua penampakan yang berjenis kelamin pria pasti di taksir. Tentukan pilihan dong jeng. Masak mau borongan?" Sekar ngomel panjang x lebar = luas.

"Lagi pula jangan berharap banyak terhadap mas Firman. Sudah ada yang punya!" Lanjut Sekar sambil berlalu kedalam mengambil stok kripik jengkol.

"Siapa yang punya Sekar?" Mahar penasaran.

"Begini Jeng. Dulunya mas Firman itu nikah sama Acik. Tapi kemudian mereka bercerai. Kemudian berita yang beredar mas Firman hendak menikah dengan Umi Rere. Tapi gak jelas jadi atau tidak. Yang pasti kembalinya mas Firman ke desa katanya karena ingin mencari wanita yang benar2 ia cintai. Siapa wanita itu sih belum jelas juga. Mungkin saja Acik, berhubung Acik kan mau cerai dari mas Halim. CLBK gitu" Sekar menjelaskan dengan sungguh-sungguh.

"Walahhh... rumit banget." Mahar garuk2 kepala, jilbab merahnya jadi berantakan namun tak mengurangi kecantikannya (wakakakaakakkk... norak ni penulisnya!)

"Tapi aku punya filling yang aneh lho Jeng Mahar, sepertinya mas Firman itu naksir..." Sekar menggantung ucapannya, membuat Mahar semakin penasaran.

"Naksir siapa??" kejar Mahar penuh ambisi

"Ah, gak jadi deh. Ini cuma filling ku saja. Kalau ternyata salah malah bisa menjadi fitnah nantinya. Kasihan Asih.. upss!!!" Sekar keceplosan, langsung menutup mulut dengan jarinya.

"Apa?? Asih? Gak mungkin lah, secara Asih itu kan kakaknya Acik kan Sekar? Dari semua ceritamu, Mahar bisa menyimpulkan bahwa mas Firman belum milik siapa-siapa!" Mahar berucap mantap.

"Lho kok gitu jeng? Jelas2 mas Firman itu naksir Asih. Tuh buktinya sudah dua kali mampir ke rumah Pak Nov. Ngapain juga kalau bukan karena Asih."

"Belum bisa dipastikan Sekarrr... apa salah kalau berkunjung ke rumah kenalan? Dalam agama malah jelas sekali di katakan bahwa Silaturrahmi salah satu cara untuk memperpanjang umur. Jadi mungkin saja mas Firman kesana karena pengen umurnya di panjangkan Allah." Mahar keukeh, Sekar sewot.

Malamnya, saat adzan Maghrib berkumandang...

Suara itu... bukan milik El. Mahar kenal betul, itu bukan suara El, tapi juga tidak terlalu asing buat Mahar. Sepertinya suara mas Firman. Dag dig dug hati nya mendengar adzan itu. Rasanya Mahar menyesal, kenapa tadi tak shalat berjamaah di masjid. Huh.... sesal memenuhi rongga dadanya.

*****

Keesokan harinya, di toko roti...

"Assalamu'alaikum Mahar..."

"Hah? mas Firman?? Wa'alaikumsalaaamm..." Mahar terbelalak melihat kehadiran Firman pagi itu di tokonya. Baru tadi malam ia menyesali tak shalat berjamaah di masjid, tiba2 pagi ini bertemu Firman. Terbayar sudah kekecewaannya. Jantungnya  berdebar bak genderang perang.

"Saya mau menagih janji jeng Mahar soal roti gratis kemaren lho.." Firman tersenyum menggoda, maniiisssss persis madu lebah. Mahar gelagapan mendapat serangan senyum manis, langsung salah tingkah.

"Eh.. itu maksudnya, ini mas Firman.... adduuuhhh.. saya jadi grogi. maaf ya mas." Mahar mengakui kegalauan hatinya. Firman lagi2 tersenyum, bikin jantung Mahar makin gak kompak.

"Saya hanya bercanda kok jeng. Yang benar kedatangan saya kemari ingin bersilaturrahmi. Sebelumnya kita belum saling kenal kan? Maklumlah, lama meninggalkan desa membuat saya banyak ketinggalan informasi."

"Serius juga ndak apa2 kok mas Firman. Saya sudah berjanji, gak baik juga kalau ingkar. Tapi maaf, roti buaya kebetulan habis, tadi di borong mba Asih." Jawab Mahar. Ada keengganan terdengar saat menyebut nama Asih. Firman menangkap keengganan itu, menatap Mahar dengan pandangan penuh tandatanya. Mahar buru2 mengalihkan pembicaraan

"Silahkan pilih yang lain saja Mas Firman. Ini ada puding cherribelningnong, pie asmaradanaminim, keik labu tabur oncom, juga ada roti coklet plus kacang kuda, asli arab mas. Silahkan, pilih sesuka hati dijamin gratisss..." Mahar promosi, Firman menahan senyum. Geli melihat Mahar yang ngomomg apa adanya tanpa kesan dibuat-buat. Mahar yang menyadari reaksi Firman, tersipu malu. Semburat merah jambon melintas di wajahnya. Arggghhh.... seandainya saja.. hayalan mulai melintas di benak Mahar.

"Serius nih jeng Mahar?'

"Limarius mas." Mahar mengatur suara semerdu mungkin, mirip Syahrini.

"Baiklah, kalau gitu saya pilih puding asmaradanaminim saja, sepertinya pas dengan kondisi saya." Firman bercanda, Mahar tertawa geli. Sungguh sebuah perkenalan yang berkesan. Saking berkesannya, dengan berani Mahar mengundang Firman untuk datang berkunjung ke rumah. Gilanya, Firman meng iya kan. Wuihh..,. tak terbayang hebohnya Mahar mendengar kesediaan Firman. Begitu Firman berlalu, dendang riang irama orkes melayu kampay berkumandang dari bibirnya.

****

Berita soal Firman berkunjung ke rumah Asih cukup heboh terdengar di desa. Tapi lebih heboh lagi soal undangan Mahar pada Firman agar datang ke rumahnya. Dan terbukti, dua hari kemudian Firman benar2 datang. selepas Isya selesai shalat di masjid yang tak jauh dari rumah Mahar.

"Mahar tinggal sendiri di rumah?"

""Tidak mas, ada dua adik yang membantu saya di toko. Mereka orang seberang, jadi saya ajak saja sekalian tinggal disini. Lumayan biar rumah tak terasa terlalu sepi. Mas Firman sendiri?'

"Saya masih tinggal sendiri Jeng. Oh ya, sudah berapa lama di desa ini?"

"Masih baru mas, sekitar enam bulan lah. Tapi saya betah sekali disini. Desa yang damai, adem, indah plus sangat penuh rasa kekeluargaan."

"Benar jeng, itulah salah satu penyebab saya memutuskan untuk kembali ke desa ini."

"Benaran itu penyebabnya mas Firman? Bukan karena...." Mahar tak jadi menyelesaikan ucapannya.

"Memangnya jeng Mahar dengar apa penyebab saya kembali?" Firman tak mau kalah, mencoba memancing Mahar yang langsung gelagapan.

"Ah ndak dengar apa2 kok mas Firman." Ucap Mahar malu.

"Mahar, besok datanglah ke masjid. Kita ramaikan masjid dengan shalat berjamaah. kebetulan saya lihat rumah jeng Mahar tak terlalu jauh dari masjid." Ajakan Firman menyengat Mahar. Beraneka bunga seketika tumbuh dihatinya. Dari mulai bunga rose, kamboja, melati samapi bunga kantil berlomba mengharumklan kalbunya (Sayang bunga bank gak ikutan numbuh yak, wkwkwwkwk).

"Baiklah mas Firman. Sebelumnya Mahar juga sering ke masjid. Tapi memang tak rutin. maklumlah, terkadang masih kalah sama keperluan duniawi." Mahar tersipu mengakui kelemahannya.

"Tak apa Mahar. Manusia memang harus memiliki kelemahan agar menjadi sempurna sebagai manusia. Sudah malam jeng, saya pamit dulu ya. Tak baik juga nanti dilihat warga." Firman pamit pulang, Mahar mengantarkan sampai pagar depan dengan senyum yang tak lepas dari bibir mungilnya. (Sok Imuuuuuuuuutt). Tak sadar, seseorang  memperhatikan keduanya.

****

"Jeng Mahar, sini !" Teriakan Ranti dari kios bunga mengagetkan Mahar yang sedang asyik ngobrol bersama mba Enggar. Lambaian tangan Ranti yang tegas membuat Mahar tak punya pilihan lain.

"Ada apa Ran?"

"Jeng Mahar kemaren kedatangan tamu ya? laki-laki kan? bener mas Firman?" pertanyaan Ranti yang bertubi-tubi membuat Mahar melongo.

"Kenapa sih Ranti? Penting ya?!" Mahar sedikit sewot, Ranti malah makin getol.

"Lain kali kamu harus tolak kedatangan mas Firman. Ini seriussss..."

"Iya tapi kenapaaaa??? Yang jelas dong sebab bin musababnya. Jangan asal larang."

"Pokoknya jangan dekat2 mas Firman, demi kebaikan." Ranti memelas. Mahar semakin bingung dan tak tega memandang wajah cantik Ranti memohon.

****

Adzan Maghrib, suara mas Firman kembali berkumandang. Mahar mematung, mukena telah dikenakan namun langkahnya urung menuju mesjid. Wajah memelas Ranti yang melarangnya mendekati mas Firman masih terbayang.

"Sudahlah, mungkin sebaiknya aku mendengar nasehat Ranti." Mahar berdamai dengan hatinya. Sebenarnya Mahar mengerti maksud baik Ranti. Semua agar tak terjadi kesalahpahaman. Mungkin benar juga firasat Sekar, kalau mas Firman sedang mendekati Asih.

"Tak baik jika aku menempatkan diri diantara mereka" Mahar masuk kedalam kamar, bersiap shalat Maghrib. Seuntai harap kembali terjalin dihatinya yang kering, semoga suatu hari nanti datang seorang pria yang tepat hasil pilihan Tuhan untuknya. Dan seandainya mas Firman orangnya, Mahar tak berniat menolak. Sedikitpun tidak. Senyum manis tersungging di bibirnya. Harapan tetap harapan, tak bisa seketika dipadamkan begitu saja. Tidak oleh Ranti, Sekar, Asih atau siapapun juga. Ijinkan aku merampasmu, boleh kah mas Firman???????

*Pemirsahhh.....ini atas persetujuan mas Firman untuk bikin rusuh ECR mereka*
:D :D :D :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun