Mohon tunggu...
Maharani DelphineDwi
Maharani DelphineDwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Let me live, love, and say it well in good sentences.

Welcome to this small page of mine. enjoy what you can, while you can.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Refugee Discrimination: When One Is Being Perceived Better Than The Other

3 Juni 2022   15:49 Diperbarui: 3 Juni 2022   16:05 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I.1.     Latar Belakang Fenomena

Pada bulan Februari, tepatnya pada tanggal 24 Februari 2022, Rusia, dibawah kepemimpinan presidennya, Vladmir Putin melakukan invasi militer terhadap negara tetangganya, Ukraina. invasi militer ini menjadi garis start dari perang yang saat ini terjadi antara Rusia dan Ukraina, yang saat ini masih berlangsung. 

Perang antara kedua negara tersebut menjadikannya mobilisasi militer terbesar di eropa sejak perang dunia kedua. Dilansir dari BBC, Perang ini sendiri didasarkan oleh Putin yang mengklaimbahwa ukraina yang ideologinya semakin mencondong ke arah barat menjadikannya ancaman bagi Rusia dan Rusia merasa bahwa mereka tidak dapat merasa aman, berkembang, dan hidup.

Dilansir dari Reuters, Dari awal invansi berlangsung sampai pada saat ini, terdapat setidaknya 46 ribu korban jiwa dan 13 ribu korban luka-luka. Bangunan – bangunan yang menjadi target penyerangan pun rusak, sebanyak kurang-lebih 2,3 ribu dengan nilai kerusakan sebesar 6  miliar dollar. 

Kerukasakan yang cukup banyak dan daerah ukraina yang dinilai tidak aman lagi menjadikan warga negara ukraina harus mencari tempat perlindungan dan mengungsi ke daerah lain karena nyawa mereka terancam dan properti serta bangunan-bangunan penting sudah rusak dan tidak layak huni. Warga dan penduduk ukraina pun harus menjadi pengungsi ke negara tetangga karena status negara mereka sudah menjadi negara konflik.

Media pun tidak berhenti meliput berita ini untuk memberitahu dunia bagaimana kondisi terbaru dari situasi konflik ini dan bagaimana kondisi warga ukraina yang harus mengungsi untuk menyelamatkan nyawa mereka. Selama proses pemberitaan ini, ada beberapa pernyataan yang tidak terduga-duga akan muncul dari reporter, jurnalis, dan pembawa berita, terutama pada kalangan media barat. 

Seringkali disaat membawa berita dan meliput kondisi pengungsi di Ukraina, ucapan dan pernyataan yang membandingkan pengungsi eropa dengan negara berkembang muncul dengan konotasi yang diskriminatif dan merendahkan.

Dilansir dari The Guardian, beberapa contohnya adalah sebagai berikut:

  • Koresponen asing senior dari CBS News bernama Charlie D’Agata menyampaikan bahwa Ukraina ‘bukanlah tempat seperti, dengan segala hormat, Irak atau Afghanistan, dimana ada konflik yang berlangsung selama beberapa dekade. Tempat ini (Ukraina) secara relatif beradab dan kota eropa -saya harus berhati-hati memilih kata-kata tersebut- dimana kita tidak berpikir bahwa hal tersebut dapat terjadi’
  • Jurnalis Lucy Watson dari ITV yang melaporkan dari Polandia menyampaikan ‘hal yang tidak terpikirkan telah terjadi pada mereka. Dan ini bukan negara berkembang, ini eropa!’
  • Seorang jurnalis dari BFM TV, Prancis, bernama Phillipe Corbe menyatakan hal ini tentang situasi Ukraina : ‘kita tidak berbicara tentang orang Syria yang pergi dari rezim Syria yang di dukung oleh Putin. Kita berbicara tentang orang eropa yang meninggalkan mobil mereka yang terlihat seperti mobil kita untuk menyelamatkan diri mereka’
  • Kelly Cobiella, koresponden untuk NBC News menyatakan bahwa ‘Ini bukan pengungsi dari Syria,Ini adalah pengungsi dari Ukraina. Mereka adalah orang kristen berkulit putih’

Dan masih banyak lagi pernyataan yang memiliki konotasi dan makna serupa.

Meskipun kedua belah bagian –Ukraina dan Timur Tengah, dan Afrika- merupakan negara dengan kondisi yang sama, yakni tengah mengalami konflik berkepanjangan namun ternyata pandangan dan persepsi yang diterima menunjukan disparansi yang sangat signifikan terhadap korbannya yang menjadi pengungsi. Mengapa hal ini dapat terjadi? Dan bagaimama ?

I.2.     Analisa Fenomena

Fenomena yang baru saja dijabarkan merupakan salah satu bentuk diskriminasi, prasangka, serta stereotip yang ada mana masyarakat, terutama dalam konteks ini, yang merupakan warga dari belahan dunia barat terutama pada Eropa dan Amerika Utara. Pemikiran dan persepsi yang tidak akurat yang terbentuk dalam pemikiran bangsa eropa dan amerika utara akan negara berkembang menjadikan sikap dan perilaku tersebut muncul dari mereka. 

Anggapan bahwa negara dengan warga berkulit putih adalah negara dan manusia yang lebih beradab sehingga membuat mereka lebih bersimpati, pada saat yang sama mereka memaklumi hal yang sama di negara berkembang non-eropa karena dinilai tidak seberadab dengan eropa adalah highlight utama dari fenomena diskriminasi, prasangka, dan stereotipe dari fenomena ini.

Sebelum masuk lebih dalam, mari definisikan diskriminasi, prasangka, dan stereotip. Aronson dalam bukunya Social Psychology (2016) menjabarkan bahwa diskriminasi dan stereotip merupakan merupakan bagian dari komponen prasangka. Prasangka merupakan sikap yang kuat secara emosional. Prasangka adalah sikap negatif atau agresif terhadap individu dari kelompok tertentu hanya karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. 

Prasangka memiliki komponen kognitif (stereotipe) dan dapat mempengaruhi perilaku (dalam bentuk diskriminasi) (Aronson, 2016)

Stereotipe merupakan komponen kognitif dari prasangka, yang merupakan generalisasi terkait sekelompok orang dengan karakteristik identik yang diberikan kepada seluruh anggota kelompok dan mengesampingkan variasi yang ada dalam anggota kelompok. (Aronson, 2016). 

Terdapat dasar neurologis untuk efisiensi kognitif dari stereotipe, mengingat kapasitas manusia terbatas dalam memproses informasi dan menjadikan manusia berperilaku seperti ‘cognitive misers’ dimana manusia mengambil jalan pintas dan mengadopsi aturan praktis dalam upaya memahami orang lain. (Aronson, 2016).

Sementara itu, diskriminasi merupakan perlakukan tidak adil kepada anggota kelompok hanya karena keanggotaan mereka pada kelompok tersebut. diskirminasi bisa terjadi secara terselubung atau resmi atau terlihat. Salah satu bentuk diskriminasi yang tidak terlalu nampak namun memiliki konotasi negatif adalah microagression yang didefinisikan sebagai penghinaan-penghinaan yang merendahkan dan secara rutin dialami oleh kelompok minoritas (Aronson, 2016).

 Salah satu contohnya adalah ketika seorang dosen berkulit putih memuji mahasiswanya yang seorang warga amerika keturunan asia terkait bahasa inggrisnya yang sangat baik, meskipun mahasiswa tersebut lahir dan besar di Amerika Serikat.

Pada konteks kasus ini, dapat dilihat bahwa para jurnalis dari media-media besar barat memiliki prasangka terhadap pengungsi dari negara-negara timur tengah dan afrika serta menuturkan kata-kata diskriminatif ketika mengangkat berita terkait pengungsi ukraina berdasarkan stereotipe mereka akan negara-negara timur tengah dan afrika. Teori prasangka, diskriminasi, dan stereotip inilah yang menjelaskan perilaku para reporter tersebut. 

Pertama-tama, perilaku diskriminatif mereka yang terlihat dimana mereka membandingkan pengungsi ukraina dengan pengungsi timur tengah dan afrika dengan menyatakan bahwa pengungsi dari ukraina adalah pengungsi dari negara eropa yang lebih beradab. Perbandingan tersebut memiliki konotasi yang merendahkan dan negatif, meskipun tidak disebutkan secara sangat langsung bahwa negara timur tengah dan afrika tidak beradab.

Bagaimana perlakuan diskriminatif tersebut bisa muncul? Jawabannya adalah prasangka dan stereotipe yang ada dalam memori dan pola pikir mereka. Kemungkinan besar para reporter dan jurnalis tersebut memiliki kepercayaan atau pemikiran dimana mereka memandang negara timur tengah dan afrika sebagai masyarakat yang minim dalam adab karena perang yang berkepanjangan 

selama satu dekade atau lebih juga perang saudara. Pemberitaan yang konstan dan keadaan yang tidak kunjung membaik menjadikan prasangka dimana mereka (reporter dan jurnalis) memiliki pandangan dan sikap negatif akan masyarakat timur tengah dan afrika. Karena exposure yang sama dan berkelanjutan maka terbentuklah stereotip dimana masyarakat timur tengah dan afrika sering menyakiti satu sama lain dan sudah menjadi hal umum dan normal.

Seperti itulah rentetan dari penyebab dan sumber dari perilaku diskriminatif dan negatif dari para reporter dan jurnalis media-media barat. Meskipun memang benar adanya bahwa negara timur tengah dan afrika seringkali mengalami konflik, namun bukan berarti membandingkan mereka dan menyimpan pandangan negatif tersebut dapat dibenarkan. 

Pada dasarnya, setiap individu memiliki variasi dan tidak dapat didefinisikan secara pasti. Momen krisis kemanusiaan adalah tempat untuk menumbuhkan empati, dan pernyataan diskriminatif sudah seharusnya tidak terpikirkan atau bahkan terucap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun