“Tumben baca buku.” Ujarku memulai pembicaraan.
“Lagi iseng aja, abis nggak ada kegiatan sih. By the way kita mau ke mana?”
“Tadinya mau ke mall, nongkrong aja di sana. Tapi, berhubung udah malem. Jadi, kita ke kafe aja.” Jelasku.
“Jangan sampe kemaleman yah beibh. Ayah bisa marah, kalau sampai kemaleman.”
Perjalanan kami mulai memasuki kawasan Bundaran HI. Macet total memaksa kami untuk sabar. Sedikit instrumental santai kusetel, berharap agar Eline tidak jenuh. Hampir setengah jam, mobil hanya bisa berjalan pelan. Tidak lama setelahnya, seorang polisi mengetuk jendela mobil.
“SIM.” Ucapnya sambil menyodorkan lengannya.
“Kenapa kaca spionnya pecah?” Tanya polisi, sesaat setelah SIM diperiksa.
“Kesenggol mobil, Pak.” Jawabku acuh.
“Limabelas ribu.” Ujarnya santai.
Aku kaget mendengar ucapannya. Hanya retak sedikit saja, bisa sampai limabelas ribu. Setahuku, polisi itu menyarankan agar ke depan harus sudah benar. Paling kejamnya lagi, plat nomornya dicatat untuk bahan perhatian selama satu minggu. Permasalahan lainnya adalah uangku. Kalau dalam hal ini aku meladeni polisi itu, batal semua rencana yang sudah disusun dengan rapih.
“Saya tidak terima, Pak. Ini retak belum seberapa, kok kenanya sampai limabelas ribu? Intinya saya tidak mau bayar, atau bapak saya laporkan ke polisi pusat. Mau?” Ancamku, yang sedaritadi tidak tahan dengan wajahnya yang menyebalkan.