“Itu, kalau sudah banyak niru-niru gaya orang. Jadi lupa sama bahasa sendiri.” Ayah bergumam.
Waktu semakin cepat berputar. Rasa-rasanya baru tadi aku terbangun dari tidur yang pulas, kini senja sudah siap mewarnai langit dengan cahaya emasnya. Aku bosan, penuh kehampaan. Buku-buku itu sudah tidak lagi kubaca. Aku keluar dari kamar, di depan teras kulihat ibu sedang asyik berbincang dengan para ibu-ibu lainnya.
“Gosip lagi, kayak nggak ada obrolan lain saja. Emang bener kata si Nita, hari gini nggak gosip, nggak asik.” Gumamku pelan.
“Aduh, anak bapak yang satu ini lagi BT yah? Kasian sekali, itu kalau mau pakai mobil, kuncinya di atas kulkas. Tapi, bensin tanggung sendiri yah.” Canda ayah dengan logat yang sengaja dimirip-miripkan dengan anak muda jaman sekarang.
“Emangnya ane udah kerja bos. Kan uang masih minta dari You.” Balasku dengan logat bicara yang serupa.
Ayah tertawa mendengar nada bicaraku.
“Ini uangnya. Ingat! Don’t rock, oke?” Kata ayah sambil memberikan dua lembar limapuluh ribu.
“Rock? Apaan tuh? Baru denger.”
“Jangan ngerokok.” Sambut ayah sambil berjalan ke ruang tamu.
“Don’t smoke dad, bukan don’t rock,” aku berjalan menuju garasi sambil menahan tawa,
“Orangtua pun pengen ikut gaul, gitu jadinya.” Gerutuku.