“Sudah kabur, saya bingung mau gimana. Di dalam tas itu banyak berkas penting yang harus saya kerjakan malam ini.”
“Tenang saja, Mbak. Hadapi semua ini dengan sabar dan tawakkal.” Ujar laki-laki itu.
“Niat nolong nggak, sih.” Bisikku kecil. Mau dianggap pahlawan, tapi tidak gerak.
Keyakinanku semakin kuat, menolong karena nafsu dan niat itu jauh sekali bedanya. Aku tertawa kecil.
Hari ini adalah hari minggu. Semua orang berlibur, berpindah dari aktifitas satu ke yang lain. Tapi tidak denganku. Bisa dibilang aku adalah pemuja Soe Hoek Gie. Tak pernah ada kata libur untuk orang seperti dia. Pemikirannya yang selalu antisipan terhadap kondisi Indonesia, kerapkali membuat namanya naik di dunia remaja seumurannya. Bukan karena ingin namaku ikut naik, tapi hanya sekedar mengikuti cara pikirnya dalam memperhatikan pergolakan politik yang haus akan disiplin asli. Beberapa buku menemani pagi dengan lagu-lagu yang sedari malam masih setia. Pernah suatu ketika ayahku berkata, bahwa aku masih goyah dalam hal kepribadian. Semua yang kulakukan, pasti mengikuti hasil karya orang lain. Dalam hal berpikir aku lebih condong ke Soe Hoek Gie, berpakaian mengikuti mode artis-artis papan atas, dan lain sebagainya.
“Sekali-kali pakai gaya kamu sendiri. Jauh lebih enak, dan praktis.” Kata ayahku.
Kalau dari dulu aku mengikuti apa kata ayah, mungkin dalam satu hari hanya dua sampai tiga jam aku beraktifitas. Sisanya, lebih baik tidur dan main game. Jujur aku adalah seorang pemalas, anti bekerja, dan sahabat mimpi. Tidak ada hal lain, selain itu. Game hanyalah peneman waktu jenuh.
Jarum jam menunjukan angka sebelas. Aku bosan. Sudah berapa kali musik itu diulang-ulang. Aku ingin pindah aktifitas.
“Pak, mau jalan-jalan nih. BT di kamar terus.” Kataku sambil menggaruk-garuk kepala yang terasa gatal. Semoga saja ayah paham dengan ucapanku.
“Itu kan sudah dibilang jalan. Dari kamar ke teras.” Sambung ayah yang masih terlihat sibuk membersihkan kaca mobil.
“What a nice says.” Aku kembali ke dalam.