Mohon tunggu...
Taufiq Ismael Al Pharepary
Taufiq Ismael Al Pharepary Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Menulislah biar dunia tahu kita pernah hidup

Berkelana di alam liar membuat kalbu begitu tenang dan memahami betapa besar ciptaan sang kalik

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Salukang Kallang, Induk Sungai-sungai Bawah Tanah Lanskap Karst Maros

24 Desember 2018   21:21 Diperbarui: 25 Desember 2018   21:52 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyusuri kolong Bumi terpanjang di Nusantara.  

Selepas luhur, kami menyusuri jalan Karaenta yang berkelok-kelok. Tepat di penghujung hutan karst Karaenta, kami berhenti. "Kita akan ke bawah," ujar Muhamad Yunus, pemandu gua Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, sambil menunjuk ke sisi kiri jalan yang berjurang.

Kami bersiap. Memakai baju gua, memasang peralatan keamanan masing-masing. Melingkarkan chest harnes, mengaitkan foot loop, kemudian menguncinya dengan delta tepat di pinggang. Setiap orang lantas memasang jumar dan auto stop. Menyilangkan tali weibing di punggung, menguncinya pas di dada kiri. Tali ini sebagai penyeimbang saat memanjat tali. Tahap akhir memasang helm berlampu senter.

Tak lupa taklimat persiapan sebelum memasuki hutan yang dihuni makaka endemik Sulawesi, Macaca maura. "Jangan takabur," Iskandar, penelusur gua asal Jakarta,  mengingatkan. 

Kami menuruni jalan terjal itu. Tak ada tanda-tanda seperti jalan setapak. Tak ada yang ingat betul jalan yang sering dilewati menuju gua. Meski beberapa di antara kami telah memasuki mulut gua ini untuk ke sekian kalinya. Tim berjalan hati-hati, menyibak ranting dan semak. Jalan licin. Hujan semalam masih menyisakan  lantai hutan yang basah.

Tak lama kemudian kami sampai di kaki tebing karst. Air mengalir deras dari celahnya. Saya menelisik ke mata air itu, nampak sabun mandi batangan yang menipis. Sepertinya masyarakat desa terdekat kadang memanfaatkan sumber air ini.

Anggota tim lain mencari jalan menuju gua. Seorang di antara kami kemudian memastikan aliran air dari karst itu adalah jalan menuju mulut gua K3. Tim pun mengikuti aliran air. Aliran air seperti parit ini membuat batu diselimuti lumut. Licin. Belum lagi jalannya masih terbilang terjal.

Hampir satu kilometer kami mengikuti jalan air, yang kemudian alirannya menghilang, masuk ke liang berdiameter satu meteran. "Alirannya saya kira akan masuk ke Gua Salukang Kallang," ujar Indra Pradana, staf taman nasional.

SATU KILOMETER terakhir tim disuguhi hutan perawan. Pepohonan begitu rapat, hanya sedikit cahaya yang menembus lantai hutan. Tak jarang saya menjumpai beringin yang tak bisa dipeluk seorang saja. Akar banir yang kekar dan lebar menandakan ia sudah berumur puluhan tahun.

Kami berjalan di setapak yang samar-samar menjadi panduan menerabas belantara. Langkah saya terhenti melihat batang pohon yang berdiri tegak nan lurus. Berwarna kelam, hitam. Tak memiliki banyak cabang.

Pohon ini tak lain adalah jenis kayu hitam (Diospiros celebica) yang endemik Sulawesi dan dilindungi undang-undang. "Pohon ini memiliki kelas kuat satu dan kelas awet satu," celetuk Ayu Tyas Purwanti, mahasiswa pecinta alam Universitas Gajah Mada.

Tak jauh dari tegakan kayu hitam itu, tampak lokasi datar di sisi kiri. Sepertinya ada yang sering beraktivitas di tempat ini. "Ini tempat para caver mendirikan tenda jika harus menginap," jelas Wahyudi, personil manggala agni taman nasional. "Ada mata air di sisi tebing karst itu," tambahnya.

Pada pengujung jalan, kami berbelok kiri. Tak lama kemudian sampailah kami pada sebuah mulut gua dengan sebatang palem sebagai penandanya. "Palem ini masih ada ya. Ini jadi background kita," Iskandar memberi instruksi.

Tim beristirahat sejenak. Bagi Yunus, berbeda. Ia kemudian membuka tas biru anti-airnya. Mengeluarkan sedikit demi sedikit tali kernmantel yang digendongnya sedari tadi. Dengan cekatan pecinta gua ini membuat simpul pada pangkal pohon palem itu.

Sejurus kemudian ia menuju mulut gua, mengaitkan tali kernmantel pada hanger menempel kokoh di sisi kiri tebing mulut gua. Tali berdiameter 11 mm itu kemudian ia ulur ke dasar mulut gua. Selesailah ia membuka jalur.

Yunus lalu mengaitkan auto stop di dadanya, ia lalu menuruni tali kernmantel yang menggantung. Iskandar menyusul. Dengan teknik descending ia lihai menuruni mulut vertikal setinggi tujuh meter itu. Sementara yang lain mengecek dan mengencangkan pengaman masing-masing.

TIM BELUM sampai dalam gua. Masih perlu menuruni tiga meter mulut gua yang tersisa. Dengan teratur namun pasti, bergantian turun dengan tali yang sama. Begitu sampai di ujung tali, suasana sudah gelap: pertanda sudah di dalam gua. Senter kepala pun dinyalakan.

Tim berada di persimpangan. Saya memperhatikan sekeliling, seekor jangkrik gua menempel di atap gua. Di dalam gua kami bisa berdiri, mengangkat tangan pun belum bisa menggapai langit-langitnya yang tertinggi, masih tersisa setengah meter. Atap gua melengkung seperti terowongan, lebarnya tak lebih dari lima langkah panjang. Sisi gua hingga atap tampak hitam kecokelatan, sepertinya terendam saat air bah.

Atap gua kemudian menyempit, sehingga kami berjalan jongkok. Tak jarang harus merayap dengan lumpur di dasar gua, sembari melihat ornamen gua. Terbayang-bayang umur gua yang sudah jutaan tahun. Dalam setahun, proses endapan formasi ornamen di gua rata-rata hanya 0,13 mm per tahun.

Air di mana-mana. Tak lama kemudian kami menjumpai genangan air di sisi kanan. Kami berjalan di sisi kiri, tak berani menerabas genangan. "Airnya cukup dalam. Hati-hati tanahnya berlumpur," Yunus mengingatkan. Bisa-bisa terperosot jika salah pijak.

Setelah cukup lama menyusuri perut bumi, sepatu yang saya kenakan belum sepenuhnya terendam. Masih bisa menghindari genangan air di sepanjang gua. Hingga akhirnya, kami tiba di badan gua yang sepenuhnya berkolam. Dua orang secara suka rela menelisik lebih dulu, memastikan ada jalan.

Berselang lima menit. Yudi kembali memberi kabar, "ada jalan." Kali ini air tak dapat dihindari lagi. Harus bercebur. Berjalan paling pinggir. Airnya setinggi dada. Daypack yang berada di punggung saya angkat di atas kepala. Ada beberapa beberapa alat elektronik di dalamnya.

Ayu sedikit takut dengan air. Ia garang saat menuruni gua, namun ia menyerah jika harus berhadapan dengan air. "Saya tidak bisa berenang," ujarnya bertahan tidak mau menerabas genangan air. Indra kemudian mendekatinya, membujuk dan menuntunnya. Akhirnya ia berani.

SELEPAS DARI genangan, perjuangan belum berakhir. Lorong gua makin menyempit, berbentuk seperti huruf "M". Sisi kanan terendam air, sementara sisi lain hanya tersisa sedikit celah. Hanya ada seperti jendela kecil dengan stalaktit yang cukup tajam di atas. Ukurannya yang bisa dilewati tak lebih dari dua jengkal tiap sisinya.

Kami harus merayap punggung melewatinya. Kaki lebih dulu, kemudian badan beringsut dengan waspada memerhatikan stalaktit di atap gua.

Setelah melewati pintu masuk, ruang gua sedikit lebar. Saya kemudian membalikkan badan, merayap lagi beberapa meter. Untuk keluar himpitan sisi gua itu ternyata pintu keluarnya lebih kecil lagi.

Beruntung tim ini memiliki badan yang terbilang langsing sehingga bisa melewatinya. Tak terbayang harus kembali lagi karena badan tak muat.

Keluar dari himpitan itu terdapat ruang yang cukup luas. Kali ini ornamennya menjuntai di mana-mana. Bagaikan display pada pameran seni, beberapa ornamen menyudut dengan bentuk yang menakjubkan.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Alam membentuknya sedemikian rupa sehingga tak bisa ditiru. Di sisi lain air terus menetes dari ujung stalaktit. Kelak tetesan air itu akan memberi tambahan pada ornamen atau membentuk desain baru. Entah berapa lama. Ornamen-ornamen itu masih akan tumbuh selama air tetap menetes.

Aliran air dalam Gua Salukang Kallang membentuk sungai bawah tanah, yang mengalir menjadi pemasok air di luar gua. Tak banyak yang tahu bahwa air yang mengalir hingga ke rumah-rumah di Maros asal muasalnya dari gua ini.

Pasokan air Perusahaan Daerah Air Mimun Maros yang berada tepat di sisi kiri air terjun Bantimurung. Hulu aliran Sungai Bantimurung itu berasal dari Sistem Hidrologi Toakala.

Bahkan gua ini diyakini sebagai "induk sungai bawah tanah" yang tercakup dalam Sistem Hidrologi Toakala dan bermuara di air terjun Bantimurung. Tim Asosiasi Speleologi Pyrnene, Prancis, pada 1992 memetakan sistem hidrologi ini.

Sajian ornamen gua yang menghibur saat menelusuri Gua Salukang Kallang. Air yang mengalir membentuk sungai bawah tanah. Foto: Indra Pradana
Sajian ornamen gua yang menghibur saat menelusuri Gua Salukang Kallang. Air yang mengalir membentuk sungai bawah tanah. Foto: Indra Pradana
Salukkang Kallang memang gua terpanjang di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Bahkan sudah dinobatkan sebagai gua terpanjang di Indonesia, dengan panjang lebih dari 12 kilometer. Untuk menyusurinya terdapat empat mulut gua yang dapat diakses. Oleh tim penelusur gua asal Perancis kala itu menamainya secara berurut: K1, K2, K3, dan K4.

SAAT KAMI KELUAR dari gua, malam menjelang. Beberapa kelelawar keluar-masuk dari gua, memulai aktivitasnya. Angin bertiup kencang, tak lama kemudian hujan. Tanpa dikomando, kami naik.

Suasana sedikit berbeda saat kami pulang. Sahutan penghuni hutan lebih ramai.  Suara jangkrik dan tonggerek bersahutan mengiring. Udara lebih dingin menusuk.  Saat bernapas embun mengepul. Berasa di musim dingin.  

Setelah membersihkan jalur. Tim kemudian berjalan menyusuri gelap belantara hutan karst. Ada hikmah selama penyusuran ini: alam mengasihi manusia, menopang nadi kehidupan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun