Sejak mengenal pelajaran sekolah di tingkat dasar, kita tentu mendengar dan mengetahui tokoh-tokoh sejarah dengan sebutan raja, ratu, pangeran, atau adipati. Yang menjelaskan kepada kita betapa terhormatnya posisi mereka dalam lingkup sosial masyarakat maupun kenegaraan.
Seiring dengan berjalannya waktu, pengetahuan kita tentang jabatan dan posisi terhormat itu pun semakin meluas dengan: presiden dan pejabat negara, pemimpin militer, pemimpin agama, hingga anggota dewan.
Dahulu -kata guru dan juga dari buku bacaan- seseorang yang dilahirkan dari keluarga pembesar istana, minimal masih kerabat istana dianggap memiliki 'darah biru'. Sebuah privilege (hak istimewa) yang terberi secara langsung sebagai takdir Tuhan. Sebab tak setiap orang bisa mendapat anugerah tersebut.
Namun tak melulu ke-darah biru-an itu anugerah terindah yang terberi begitu saja dari Tuhan. Dalam folklore sejarah kita seperti tertulis di Serat Pararaton dikisahkan tentang seorang anak desa, Ken Angrok (atau Ken Arok) yang berhasil merebut kekuasaan dan menjadi raja di Tumapel. Dalam buku sejarah disebut dengan Kerajaan Singhasari.
Dengan keberhasilannya itu, Ken Angrok yang bukan siapa-siapa itu pun dipercaya sebagai putra sang dewa, Dewa Brahma. Sebentuk legitimasi metafisik untuk kekuasaannya. Yang memberi keabsahan ke-darah biru-an untuk anak keturunannya. Darah biru trah Wangsa Rajasa.
             ***
Ketidaksadaran Kolektif
Dongeng-dongeng Nusantara (juga dunia) yang selalu berakhir (happy ending) dengan 'hidup bahagia' di istana, sesungguhnya tak lepas akan keyakinan pada posisi terhormat dalam strata sosial masyarakat. Tersebab segala hak istimewa yang melekat pada dirinya. Bahkan sabdanya pun bisa menjadi hukum. Negara adalah aku, kata Raja Louis XIV dari Prancis.
Itulah juga mengapa beberapa nama kekaisaran atau kerajaan di dunia pada masa lalu -bahkan hingga abad kini- ada yang mendasarkan pada nama pendirinya. Bahkan dalam tradisi Jawa, penyebutan Gusti pun tak hanya berlaku untuk Allah semata, namun juga untuk raja dan ratu hingga anaknya. Â Â Â Â Â
Satu hal lagi, dalam cerita-cerita rakyat tersebut: raja, ratu, pangeran, dan putri yang berdarah biru tersebut pastinya selalu digambarkan tampan, gagah, cantik, berwibawa, pintar. Termasuk Ken Angrok, yang meski anak desa tak mungkin tidak dilukiskan berparas tampan serta gagah.
Sehingga di alam bawah sadar kita -meminjam istilah Carl Gustav Jung (1875-1961)- tertanam ketidaksadaran kolektif (arketipe) Â di mana warisan budaya dan pengalaman manusia sepanjang sejarah, membentuk pola perilaku manusia dan pengalaman psikologis mereka. Terutama mitos-mitos tentang pemimpin itu harus berdarah biru, tampan, gagah, pintar, berwibawa.