Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Darah Biru

11 November 2023   21:56 Diperbarui: 11 November 2023   22:00 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak mengenal pelajaran sekolah di tingkat dasar, kita tentu mendengar dan mengetahui tokoh-tokoh sejarah dengan sebutan raja, ratu, pangeran, atau adipati. Yang menjelaskan kepada kita betapa terhormatnya posisi mereka dalam lingkup sosial masyarakat maupun kenegaraan.

Seiring dengan berjalannya waktu, pengetahuan kita tentang jabatan dan posisi terhormat itu pun semakin meluas dengan: presiden dan pejabat negara, pemimpin militer, pemimpin agama, hingga anggota dewan.

Dahulu -kata guru dan juga dari buku bacaan- seseorang yang dilahirkan dari keluarga pembesar istana, minimal masih kerabat istana dianggap memiliki 'darah biru'. Sebuah privilege (hak istimewa) yang terberi secara langsung sebagai takdir Tuhan. Sebab tak setiap orang bisa mendapat anugerah tersebut.

Namun tak melulu ke-darah biru-an itu anugerah terindah yang terberi begitu saja dari Tuhan. Dalam folklore sejarah kita seperti tertulis di Serat Pararaton dikisahkan tentang seorang anak desa, Ken Angrok (atau Ken Arok) yang berhasil merebut kekuasaan dan menjadi raja di Tumapel. Dalam buku sejarah disebut dengan Kerajaan Singhasari.

Dengan keberhasilannya itu, Ken Angrok yang bukan siapa-siapa itu pun dipercaya sebagai putra sang dewa, Dewa Brahma. Sebentuk legitimasi metafisik untuk kekuasaannya. Yang memberi keabsahan ke-darah biru-an untuk anak keturunannya. Darah biru trah Wangsa Rajasa.

                          ***

Ketidaksadaran Kolektif

Dongeng-dongeng Nusantara (juga dunia) yang selalu berakhir (happy ending) dengan 'hidup bahagia' di istana, sesungguhnya tak lepas akan keyakinan pada posisi terhormat dalam strata sosial masyarakat. Tersebab segala hak istimewa yang melekat pada dirinya. Bahkan sabdanya pun bisa menjadi hukum. Negara adalah aku, kata Raja Louis XIV dari Prancis.

Itulah juga mengapa beberapa nama kekaisaran atau kerajaan di dunia pada masa lalu -bahkan hingga abad kini- ada yang mendasarkan pada nama pendirinya. Bahkan dalam tradisi Jawa, penyebutan Gusti pun tak hanya berlaku untuk Allah semata, namun juga untuk raja dan ratu hingga anaknya.          

Satu hal lagi, dalam cerita-cerita rakyat tersebut: raja, ratu, pangeran, dan putri yang berdarah biru tersebut pastinya selalu digambarkan tampan, gagah, cantik, berwibawa, pintar. Termasuk Ken Angrok, yang meski anak desa tak mungkin tidak dilukiskan berparas tampan serta gagah.

Sehingga di alam bawah sadar kita -meminjam istilah Carl Gustav Jung (1875-1961)- tertanam ketidaksadaran kolektif (arketipe)  di mana warisan budaya dan pengalaman manusia sepanjang sejarah, membentuk pola perilaku manusia dan pengalaman psikologis mereka. Terutama mitos-mitos tentang pemimpin itu harus berdarah biru, tampan, gagah, pintar, berwibawa.

Maka, tak mengherankan begitu muncul dan terpilih seseorang yang tak sesuai dengan mitos-mitos arketipe yang masih menyelubungi  alam bawah sadar kita, maka berhamburanlah cibiran pedas dan cemoohan dari sebagian saudara-saudara kita. Planga-plongo lah, tidak cerdas lah, dungu lah. Dan lain sebagainya.

Dia, seperti Ken Angrok dari yang bukan siapa-siapa itu akhirnya bak rising star yang melesat begitu cepat. Menjadi elit baru yang diperhitungkan. Pemimpin idola dan panutan. Lewat kesederhanaannya yang tak berjarak dengan orang-orang kecil. Dia tak sekedar tampil sederhana, melainkan kesederhanaan itu sendiri.

Bahkan ada yang terang-terangan menjadikan namanya semacam 'isme baru'. Laiknya Kemalisme di Turki. Entahlah. Yang jelas, dia memiliki para pengikut yang fanatiknya menyeimbangi militansi mereka yang anggota partai dan ormas.

Sayangnya, menjelang akhir kekuasaan dengan menyandang predikat tingkat kepuasan tertinggi (approval rate) menurut hasil survey itu kini malah menuai kontroversi.

Apakah kekuasaan telah melenakan alam bawah sadarnya? Hingga dia pun terperangkap dalam mitos arketipe yang dahulu menjadi peluru para pembecinya?

Entah siapa mempengaruhi siapa? Siapa yang memanfaatkan siapa? Yang pasti kini namanya telah menjadi wangsa baru. Trah darah biru baru. Yang sejajar dengan para trah darah biru lainnya di jagat perpolitikan modern Indonesia. Dengan segala privilege yang dimilikinya. 

Bogor, 11 November 2023     

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun