Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tanggapan untuk Guru Besar

5 Agustus 2023   17:30 Diperbarui: 5 Agustus 2023   18:47 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Harian Kompas edisi 4/8/2023 pada rubrik opininya memuat tulisan seorang Guru Besar Emeritus dengan judul: Apa Dosa Sekolah Favorit?

Sebuah judul yang memancing keingintahuan. Apa lacur, sampai tuntas tulisan itu selesai dibaca tak ditemukan hal yang mencerahkan, apalagi membukakan pandangan yang lebih baru. Intinya di luar ekspektasi.

Mengapa? Karena tulisan yang merupakan reaksi atas kekisruhan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) itu disertai dengan 'tuduhan' bahwa sekolah favorit menjadi target untuk digoyang eksistensinya. Mirisnya, tulisan itu pun menafikan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan dengan mengglorifikasi hanya sekolah-sekolah favorit yang bisa mengakses anak-anak yang memang pandai, siap belajar dengan skema kualitas, bukan dengan skema belajar dengan model semacam afirmasi. Demi menempatkan anak-anak yang pandai tersebut, Sang Guru Besar mengusulkan untuk membuat sekolah-sekolah favorit di setiap provinsi.

Sebagai sebuah gagasan apalagi opini, sah-sah saja pendapat yang beliau tuangkan. Namun secara subjektif  -sekali lagi subjektif- penulis ingin menanggapi apa yang dipaparkan di harian nasional terbesar negeri ini. Terutama pada poin: anak-anak yang memang pandai!

Kenapa Harus Sekolah Favorit?

Benang merah dari artikel di harian Kompas itu sebenarnya merupakan kritik atas 'malapraktik' sistem zonasi yang kisruh di beberapa daerah. Kekisruhan dalam data kependudukan akibat adanya titip nama  di kartu keluarga (KK), manipulasi kartu KIS atau KIP sebagai jalan pintas jalur afirmasi, hingga dugaan jual beli bangku yang besarannya di atas lima juta rupiah.

Itu fakta yang tak terbantahkan. Dan sangat beralasan manakala Walikota Bogor, Kang Bima Arya begitu berang. Kita sepakat masih banyak kebolongan di sana sini. Tetapi ketika menganggap cita-cita zonasi sebagai bentuk pemerataan kualitas adalah sesuatu yang absurd, dengan alasan kualitasnya pun belum ada secara memadai baik itu di tingkat kabupaten/kota, maupun provinsi. Bahkan itu dianggap hanya ilusi dan halusinasi dari sistem zonasi, sungguh sebuah anggapan yang juga absurd jika solusinya adalah dengan membuat sekolah-sekolah favorit.

Seharusnya yang dicari dan diupayakan adalah sistem bagaimana membangun kesetaraan kualitas dalam pendidikan di sekolah-sekolah negeri. Mulai dari tingkat dasar hingga lanjutan. Kritikan terhadap sistem zonasi yang seringkali terjadi manipulasi karena tidak adanya transparansi. Misalnya, kenapa si A tidak diterima di SMP Negeri X padahal secara zonasi berada dalam satu wilayah kecamatan, sementara si B malah diterima padahal tempat tinggalnya berada di luar zonasi atau berbeda kecamatan. Persoalan kedua adalah tidak seimbangnya daya tampung antara lulusan SD dengan jumlah SMP yang tersedia.

Mungkin tidak bakal menjadi persoalan pula seandainya siswa yang tidak diterima di sekolah negeri dan harus masuk di sekolah swasta atau PGRI jika tidak ada ketimpangan biaya yang begitu jomplang. Sebab mereka yang menginginkan anaknya di terima di sekolah negeri karena tidak adanya lagi SPP dan tetek bengek semacam uang pangkal, uang bangunan, dan lain sebagainya. Kesenjangan inilah yang juga memicu malapraktik sistem zonasi.

Bandingkan dengan zaman ketika sekolah-sekolah negeri (yang selain tes seleksi masuk) masih mengenakan uang pangkal dan tarif SPP, justru ada sekolah negeri yang bayarannya bisa lebih mahal dari sekolah PGRI. Dan sekolah negeri itu yang kadang disebut sebagai sekolah favorit!

Akhirnya stigma sekolah favorit selalu ada di setiap kota. Menjadi elitis sekaligus menjadi singgahan anak-anak yang tak hanya punya kemampuan otak namun juga kemampuan finansial. Yang disebut oleh Guru Besar itu sebagai anak-anak yang memang pandai.

Jadi, haruskah membangun sekolah favorit? Yang harus dibangun adalah sekolah-sekolah lanjutan agar seimbang dengan tingkat kelulusan di bawahnya sekaligus dengan memperbaiki kualitas alias mutu guru.

Sebab sekolah favorit sesungguhnya justru sekolah swasta semacam Regina Pacis di Bogor atau Al Azhar dan Tarakanita di Jakarta. Jadi ketika membandingkan sekolah favorit di USA dan Inggris harusnya dengan sekolah favorit swasta tersebut. Bukan dengan sekolah favorit negeri. Agar lebih apple to apple.

Paradigma Pemerataan

Kita percaya dengan memulai perbaikan pendidikan di tingkat dasar dan menengah, maka out put yang dihasilkan tentunya merupakan hasil saringan yang terbaik. Cream of the cream dari anak didik yang ada kala meneruskan ke jenjang perguruan tinggi.

Ada baiknya kita membuka mata dan belajar dari artikel yang ditulis Duta Besar Finlandia, Pekka Kaihilahti, juga di harian Kompas dengan judul: Merdeka Belajar, Merdeka di Masa Depan       

Sang Dubes menjelaskan bagaimana Finlandia sebagai negara kecil telah meretas reformasi sistem pendidikan seabad silam dengan senantiasa terus beradaptasi dan berkembang. Lewat potensi yang dibangun atas dasar lima prinsip:

- Kesetaraan, di mana setiap anak mendapat kesempatan yang sama, tanpa memandang asal-usulnya;

- Memupuk kepercayaan, di mana guru-guru dipercaya oleh masyarakat untuk menjalankan tugas mereka dengan kebijaksanaan pendidikan;

- Kebahagiaan,  sebab siswa  yang bahagia akan menerima ilmu dengan penuh semangat;

- Peran guru-guru yang berdedikasi sebagai titik sentral dalam pendidikan.

Semestinya paradigma yang digunakan ketika mengkritisi sistem zonasi adalah dengan membangun semangat pemerataan dalam kesempatan mendapatkan pelayanan pendidikan. Bukan malah dengan membangun kembali dikotomi antara anak yang pandai (sekolah favorit) dan tidak pandai (non sekolah favorit).

Bogor, 5 Agustus 2023

          

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun