Harian Kompas edisi 4/8/2023 pada rubrik opininya memuat tulisan seorang Guru Besar Emeritus dengan judul: Apa Dosa Sekolah Favorit?
Sebuah judul yang memancing keingintahuan. Apa lacur, sampai tuntas tulisan itu selesai dibaca tak ditemukan hal yang mencerahkan, apalagi membukakan pandangan yang lebih baru. Intinya di luar ekspektasi.
Mengapa? Karena tulisan yang merupakan reaksi atas kekisruhan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) itu disertai dengan 'tuduhan' bahwa sekolah favorit menjadi target untuk digoyang eksistensinya. Mirisnya, tulisan itu pun menafikan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan dengan mengglorifikasi hanya sekolah-sekolah favorit yang bisa mengakses anak-anak yang memang pandai, siap belajar dengan skema kualitas, bukan dengan skema belajar dengan model semacam afirmasi. Demi menempatkan anak-anak yang pandai tersebut, Sang Guru Besar mengusulkan untuk membuat sekolah-sekolah favorit di setiap provinsi.
Sebagai sebuah gagasan apalagi opini, sah-sah saja pendapat yang beliau tuangkan. Namun secara subjektif  -sekali lagi subjektif- penulis ingin menanggapi apa yang dipaparkan di harian nasional terbesar negeri ini. Terutama pada poin: anak-anak yang memang pandai!
Kenapa Harus Sekolah Favorit?
Benang merah dari artikel di harian Kompas itu sebenarnya merupakan kritik atas 'malapraktik' sistem zonasi yang kisruh di beberapa daerah. Kekisruhan dalam data kependudukan akibat adanya titip nama  di kartu keluarga (KK), manipulasi kartu KIS atau KIP sebagai jalan pintas jalur afirmasi, hingga dugaan jual beli bangku yang besarannya di atas lima juta rupiah.
Itu fakta yang tak terbantahkan. Dan sangat beralasan manakala Walikota Bogor, Kang Bima Arya begitu berang. Kita sepakat masih banyak kebolongan di sana sini. Tetapi ketika menganggap cita-cita zonasi sebagai bentuk pemerataan kualitas adalah sesuatu yang absurd, dengan alasan kualitasnya pun belum ada secara memadai baik itu di tingkat kabupaten/kota, maupun provinsi. Bahkan itu dianggap hanya ilusi dan halusinasi dari sistem zonasi, sungguh sebuah anggapan yang juga absurd jika solusinya adalah dengan membuat sekolah-sekolah favorit.
Seharusnya yang dicari dan diupayakan adalah sistem bagaimana membangun kesetaraan kualitas dalam pendidikan di sekolah-sekolah negeri. Mulai dari tingkat dasar hingga lanjutan. Kritikan terhadap sistem zonasi yang seringkali terjadi manipulasi karena tidak adanya transparansi. Misalnya, kenapa si A tidak diterima di SMP Negeri X padahal secara zonasi berada dalam satu wilayah kecamatan, sementara si B malah diterima padahal tempat tinggalnya berada di luar zonasi atau berbeda kecamatan. Persoalan kedua adalah tidak seimbangnya daya tampung antara lulusan SD dengan jumlah SMP yang tersedia.
Mungkin tidak bakal menjadi persoalan pula seandainya siswa yang tidak diterima di sekolah negeri dan harus masuk di sekolah swasta atau PGRI jika tidak ada ketimpangan biaya yang begitu jomplang. Sebab mereka yang menginginkan anaknya di terima di sekolah negeri karena tidak adanya lagi SPP dan tetek bengek semacam uang pangkal, uang bangunan, dan lain sebagainya. Kesenjangan inilah yang juga memicu malapraktik sistem zonasi.
Bandingkan dengan zaman ketika sekolah-sekolah negeri (yang selain tes seleksi masuk) masih mengenakan uang pangkal dan tarif SPP, justru ada sekolah negeri yang bayarannya bisa lebih mahal dari sekolah PGRI. Dan sekolah negeri itu yang kadang disebut sebagai sekolah favorit!
Akhirnya stigma sekolah favorit selalu ada di setiap kota. Menjadi elitis sekaligus menjadi singgahan anak-anak yang tak hanya punya kemampuan otak namun juga kemampuan finansial. Yang disebut oleh Guru Besar itu sebagai anak-anak yang memang pandai.