Bagi warga Kota Bogor yang rutin jogging atau sekadar jalan kaki bersama keluarga keliling Kebun Raya Bogor (KRB) di akhir pekan, pasti akan menjumpai para pedagang makanan dan minuman. Salah satunya adalah penjual jamu gendong.
Minuman yang biasanya dikonsumsi kaum hawa terutama ibu-ibu itu, seakan menyapa mereka yang tengah mengolah kebugaran tubuh untuk mengonsumsi minuman kesehatan tersebut.
Setidaknya ada tiga pedagang jamu gendong di setiap akhir pekan (Sabtu-Minggu) yang siap memenuhi asupan nutrisi para 'pelari pagi' di seputaran KRB itu.
"Saya jualan di sini hanya hari Minggu saja. Kalau hari biasa sih keliling masuk kampung," ujar Mbak yang berjualan jamunya di samping Lawang Salapan yang menjadi tempat istirahat sekaligus ajang favorit untuk foto-foto itu.
Sementara dua pedagang jamu lainnya  -salah satunya adalah ibunya sendiri- berjualan setiap hari Sabtu-Minggu yang mangkal persis di seberang Hotel Permata dan dekat lampu merah Jalan Jalak Harupat tak jauh dari pintu masuk Kebun Raya Bogor.
Sejarah Jamu
Siapa yang tak kenal jamu sebagai salah satu produk minuman kesehatan yang kini tak ubahnya bak ikon ke-Indonesia-an seperti halnya batik.Â
Padahal minuman yang terbuat dari tanaman itu juga dikenal di negeri-negeri timur lain seperti Cina/Tiongkok, Korea, Jepang. Namun khas 'jamu' tetaplah milik Indonesia.
Konon kepopuleran minum jamu bagi masyarakat Indonesia -khususnya masyarakat Jawa- sama populernya seperti minum susu bagi orang Barat (Eropa).
Mengutip artikel Tentang Sejarah Jamu dari laman Javanesia.com 2018, disebutkan bahwa jamu adalah ramuan unik dalam pengobatan tradisional yang digunakan untuk segala jenis penyakit apapun secara turun-temurun.Â
Ramuan ini dibagi dalam dua jenis jamu. Pertama, jamu untuk membantu kebugaran dan kesehatan tubuh. Kedua, jamu untuk mengobati penyakit.
Jauh sebelum ilmu farmasi modern hadir, ramuan tradisional itu digunakan oleh para dukun untuk mengobati pasiennya.Â
Sekalipun begitu, jamu tetap eksis hingga kini bahkan telah dikemas secara modern pula, seperti iklan jamu yang menampilkan para pesohor dengan jargonnya yang terkenal: Orang Pintar Minum Tolak Angin.
Tidak ada sejarah pasti tentang asal muasal jamu. Biasanya kisah tentang jamu selalu dihubungkan dengan era Mataram Hindu (abad ke-7).Â
Dikisahkan bahwa para puteri keraton dalam merawat tubuhnya menggunakan ramuan dari berbagai tanaman (herbal) untuk jamu dan kosmetiknya.Â
Sementara sebuah Kitab Madhawapura, yakni buku catatan resep jamu yang menceritakan tentang pembuatan jamu yang dikenal dengan istilah acaraki ditulis pada masa Majapahit (abad ke-13).
Di era kolonial, penelitian tentang jamu ini ditulis oleh seorang botanis yang bernama Rhumpius dalam sebuah buku yang berjudul Herbaria Amboinesis.Â
Selanjutnya Pusat Penelitian Pengobatan Herbal di Taman Botani Bogor menerbitkan Medical Book for Children and Adults, yang disusun oleh E. van Bent.
Dan Kota Solo, selain menjadi tempat Kongres Bahasa Indonesia pertama juga merupakan tempat seminar pertama tentang jamu pada tahun 1940.Â
Nah, yang terus berlanjut pada tahun 1944 dan 1966 oleh gabungan organisasi jamu. Pada tahun 1981, sebuah buku berjudul The Use of Medical Plants dibuat untuk membantu industri jamu di tanah air.
Warisan Budaya
Bagi sebagian orang, jamu kerap identik dengan sejenis minuman tradisional untuk kesehatan. Padahal luluran atau olesan pada permukaan tubuh juga merupakan sebuah produk jamu.Â
Saat ini warisan budaya jamu itu dapat kita jumpai dalam kemasan modern berupa bubuk/serbuk, pil, kapsul, minuman sachet, dan lotion.
Namun serbuan produk modern itu tetaplah tak menggeser para pelaku jamu gendong yang masih punya penikmatnya sendiri. Sekalipun metode pembuatan jamu tradisional seperti yang dilakukan oleh penjual jamu gendong prosesnya amat sederhana.Â
Mulai dari penjemuran, penumbukkan, dan penggodogan dengan peralatan yang juga sederhana seperti lumpang, parutan, kuali, dan panci.Â
Dengan bahan-bahan dari jenis tanaman yang terbagi dalam lima kelompok tanaman, yaitu: rimpang/akar-akaran, daun-daunan, buah, kulit pohon, dan bunga.
"Untuk belanja bahan baku pembuatan jamu ini tiga  hari sekali sepulang jualan," jawab si Mbak saat ditanya penulis.
Hal lain dari keunikan jamu gendong adalah penjualnya yang didominasi kaum perempuan dengan ciri khas berupa kain jarik untuk menggendong bakul keranjang yang berisi botol-botol jamu dengan sebelah tangan menjinjing ember berisi air dan beberapa gelas.
Aktivitas berjualan mereka dimulai dari pukul setengah enam pagi hingga pukul satu atau waktu zuhur yang dijalankan nyaris sepanjang hari.
"Kecuali hari Minggu bisa pulang pukul sebelas," tambahnya. "Karena cukup banyak pembelinya."
Seperti Minggu pagi itu, beberapa orang terlihat minum jamu yang memang murah meriah. Cukup dengan empat ribu rupiah untuk satu gelas minuman menyehatkan. Kecuali jamu kemasan yang harganya kisaran lima ribu ke atas.
"Kalau yang sudah langganan biasanya akan WA dulu, Mbak jualan ga?" ujarnya dengan wajah sumringah.
Mbak dan dua penjual jamu gendong ini masih setia menawarkan jamunya menyusuri kampung dengan berjalan kaki. Tidak menggunakan sepeda atau motor yang kini juga banyak ditemui. Dan di akhir pekan, mereka mengadu keberuntungan dengan menyapa para pelari pagi.
Bogor, 14 Desember 2022 Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H