Ramuan ini dibagi dalam dua jenis jamu. Pertama, jamu untuk membantu kebugaran dan kesehatan tubuh. Kedua, jamu untuk mengobati penyakit.
Jauh sebelum ilmu farmasi modern hadir, ramuan tradisional itu digunakan oleh para dukun untuk mengobati pasiennya.Â
Sekalipun begitu, jamu tetap eksis hingga kini bahkan telah dikemas secara modern pula, seperti iklan jamu yang menampilkan para pesohor dengan jargonnya yang terkenal: Orang Pintar Minum Tolak Angin.
Tidak ada sejarah pasti tentang asal muasal jamu. Biasanya kisah tentang jamu selalu dihubungkan dengan era Mataram Hindu (abad ke-7).Â
Dikisahkan bahwa para puteri keraton dalam merawat tubuhnya menggunakan ramuan dari berbagai tanaman (herbal) untuk jamu dan kosmetiknya.Â
Sementara sebuah Kitab Madhawapura, yakni buku catatan resep jamu yang menceritakan tentang pembuatan jamu yang dikenal dengan istilah acaraki ditulis pada masa Majapahit (abad ke-13).
Di era kolonial, penelitian tentang jamu ini ditulis oleh seorang botanis yang bernama Rhumpius dalam sebuah buku yang berjudul Herbaria Amboinesis.Â
Selanjutnya Pusat Penelitian Pengobatan Herbal di Taman Botani Bogor menerbitkan Medical Book for Children and Adults, yang disusun oleh E. van Bent.
Dan Kota Solo, selain menjadi tempat Kongres Bahasa Indonesia pertama juga merupakan tempat seminar pertama tentang jamu pada tahun 1940.Â
Nah, yang terus berlanjut pada tahun 1944 dan 1966 oleh gabungan organisasi jamu. Pada tahun 1981, sebuah buku berjudul The Use of Medical Plants dibuat untuk membantu industri jamu di tanah air.