Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tentang Nama-nama dalam Lintas Generasi di Kampungku

23 November 2021   09:20 Diperbarui: 27 November 2021   15:15 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak. (sumber: FREEPIK/JCOMP via kompas.com)

Ini adalah cerita tentang perubahan dari perkembangan zaman di sebuah kampung di pinggiran kota yang belum 'sesumpek' kota besar. 

Perubahan yang tak hanya dari tampilan fisik seperti bangunan dan jalan, namun juga perubahan sosial yang di dalamnya terbangun persepsi akan sebuah nama. Melintasi dari generasi ke generasi.

Bagaimana sebuah nama menunjukkan dari generasi mana dia lahir dan tumbuh. Serta pengaruh apa yang mengiringi proses penciptaan atau pemberian dari sebuah nama.

Karakteristik Generasi

Kupperschmidt's (2000) mengatakan bahwa generasi adalah sebuah kelompok dari individual yang diidentifikasi berdasarkan tahun kelahiran, tempat, dan peristiwa yang terjadi pada kelompok individu tersebut, yang memiliki dampak signifikan dalam fase perkembangan mereka.

Selama satu abad ini, setidaknya manusia terbagi dalam 6 (enam) kelompok generasi dengan ciri karakteristik masing-masing:

    1. Generasi Tradisional (1922-1945), merupakan generasi yang lahir dan tumbuh dalam situasi penuh dengan peperangan. Baik akibat kolonialisme, maupun perang dunia. Generasi ini memiliki jiwa patriotisme, pengorbanan, dan solidaritas tinggi;

    2. Generasi Baby Bommer (1946-1964), merupakan generasi yang lahir dan tumbuh setelah berakhirnya Perang Dunia II. Di mana terjadi 'ledakan' tingkat kelahiran yang sangat tinggi. Generasi ini dinilai sebagai generasi yang membangun dengan ciri-ciri idealis, kompetitif, loyal, namun tidak suka dikritik;

    3. Generasi X (1965-1980), merupakan generasi yang lahir dan tumbuh dengan kembali didera konflik di beberapa negara. Di Indonesia, mereka adalah yang dibesarkan pada era Orde Baru. Istilah Generasi X terambil dari sebuah novel yang ditulis Douglas Coupland (Generation X, Tales for an Accelerated Culture). Kerap disebut juga dengan Generasi Baby Bust sebagai antitesa dari Generasi Baby Bommer dikarenakan terjadi penurunan angka kelahiran bayi yang signifikan. Generasi ini mulai akrab dengan teknologi, berorientasi pada karier, pragmatis, dan problem solver;

    4. Generasi Milenial atau Generasi Y (1980-1995), merupakan generasi yang lahir dan tumbuh dengan perubahan zaman yang begitu cepat. Dari konvensional menjadi modern. Generasi yang hidupnya tak bisa lepas dari gadget (ponsel, laptop, tablet). Kerap dinilai sebagai generasi yang malas karena sering bermain ponsel. Generasi ini memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, penuh percaya diri, sekaligus rentan depresi dan anxiety (gangguan kecemasan) yang tinggi pula;

    5. Generasi Z (1995-2010), dianggap sebagai generasi yang mulai tak mengenal budayanya sendiri sebaik empat generasi sebelumnya. Terbiasa hidup simple dan serba instan, ambisius, mempertanyakan otoritas, dan lebih sering menghabiskan waktu sendiri;

    6. Generasi Alpha (2000-an), disebut juga sebagai iGeneration karena tidak pernah mengenal kehidupan tanpa teknologi. Menurut Forbes Magazine, generasi ini adalah generasi global pertama yang terlahir dalam abad 21.

Itulah gambaran umum perjalanan generasi yang tentunya juga memberi dampak terhadap perubahan sosial di kampung kami. Termasuk perubahan dalam pemberian nama yang cukup menarik untuk diamati dalam rentang perjalanan panjang generasi.

Pola Yang Dipakai

Pemberian nama pada anak, tentu tak bisa lepas dari beberapa faktor. Seperti dari mana dia berasal (etnis), strata atau kedudukan, agama, pendidikan, pengetahuan, dan juga pergaulan. Bahkan pemaksaan secara politik seperti yang dialami oleh saudara kita dari etnis Tionghoa pada masa Orde Baru.

Faktor-faktor tersebut adalah kenyataan yang ikut mewarnai perubahan, pergeseran dalam hal pemberian nama di kampung kami. Kampung yang sejak awal sangat egaliter karena tak ada jarak antara etnis Sunda, Tionghoa, Jawa, dan terakhir Madura.

Dengan mata pencaharian yang umumnya sebagai pedagang dan buruh di pasar -meskipun ada satu dua yang menjadi pegawai pemerintah dan swasta- tentunya interaksi sosial dengan beragam etnis dan kultur semakin intens terhadap sikap egaliter masyarakatnya.

Sikap ini bisa dilihat bagaimana nama-nama dari Generasi Tradisional tak menunjukkan strata atau kedudukan seseorang kecuali gelar tambahan 'haji'. 

Contohnya adalah nama untuk mereka yang secara ekonomi dianggap mempunyai kedudukan tinggi -juragan tanah, touke kampung- dengan orang biasa tetap berpola sederhana, yaitu pola satu suku kata. 

Untuk laki-laki seperti Misja, Sanan, Aran, atau Mamad. Begitu pun untuk yang bergelar haji misalnya, Haji Juned, Haji Sarip. Sementara untuk perempuan ada Enjum, Otok, Kani, atau Acih.

Termasuk dari etnis Jawa yang menikah dengan penduduk setempat karena tugas militer. Namanya pun serupa. Berpola satu suku kata, Sungkono.

Terkecuali dengan nama-nama dari etnis Tionghoa yang biasanya terdiri dari tiga suku kata. Meski dalam panggilan sehari-hari hanya digunakan dua suku kata, seperti Cang Lim, Eng Tay, Jil Yong. Serta untuk perempuannya ada Kwang Kwang, Sin Hwa, atau Bun Tong.

Secara garis besar, nama yang berpola sederhana dengan satu suku kata itu terus bertahan sampai tiga generasi. Generasi Tradisional, Generasi Baby Bommer, hingga Generasi X. 

Namun dengan kecenderungan unsur Islam yang kental. Seperti Abduloh (tidak lagi Duloh seperti era Generasi Tradisional), Hidayat, Komarudin. Pun untuk perempuannya seperti Jamilah, Rokoyah, Juwariah.

Termasuk juga dengan kehadiran etnis Madura di akhir 1980-an, rata-rata masih berpola satu suku kata. Ada Tiksan, Ahmad, Simal, dan Munip.

Pergeseran pola nama mulai tampak di era Generasi X ketika orang tua mereka dari Generasi Baby Bommer cukup beruntung mendapat pendidikan hingga sekolah lanjutan (SMEP dan SPG). 

Dan itu hanya terjadi tidak lebih dari lima keluarga. Sementara rata-rata Generasi Baby Boomer di kampung kami hanya sekolah sampai tingkat sekolah dasar. Bahkan banyak yang tidak bersekolah. Umumnya kaum perempuan.

Maka anak-anaknya mulai menggunakan pola baru dalam pemberian nama yaitu dengan pola dua suku kata. Untuk laki-laki ada Dede Samsudin, Jajang Sutarman, atau Anwar Nurdin. Untuk anak perempuannya ada Lilis Kurniasih, Nenden Masyitoh, atau Helmi Riawati. 

Sementara yang lainnya masih dengan pola satu suku kata.

Namun ada kejadian unik yang dialami Generasi X -termasuk penulis- pemilik nama dengan pola satu suku kata. Kebiasaan guru ngaji di kampung kami yang selalu memanggil murid laki-lakinya dengan tambahan 'Mad' sebagai sapaan khasnya. 

Seperti Mad Soleh, Mad Yusup, atau Mad Said. Begitu pun untuk anak perempuan ditambahi dengan 'Siti', menjadi Siti Jamilah, Siti Juwariah.

Jadilah tambahan Mad dan Siti menjadi pola dua suku kata baru saat didaftarkan ke sekolah. Maklumlah saat itu masih belum menggunakan akte lahir sebagai syarat masuk sekolah.

Perubahan pun terjadi juga pada tetangga dari etnis Tionghoa akibat kebijakan rejim Orde Baru lewat Keputusan Presiden Nomor 240 tahun 1967. Dengan berpola satu dan dua suku kata, nama-nama mereka berubah menjadi Suryajaya, Budi Gunawan, Candra Wijaya, Sintiawati, atau Lindawati.

Ada juga kisah menarik dari Generasi X ketika menamai anaknya. Situasi perang Iran-Irak yang disiarkan oleh TVRI lewat Dunia Dalam Berita akhirnya memunculkan nama Presiden Irak, Saddam Hussein dalam pola nama dua suku kata.

Termasuk penggemar fanatik Grass Rock pun menamai anaknya dengan nama sang vokalis, jadilah Muhamad Dayan.

Pola dengan dua suku kata menjadi umum hingga memasuki era Generasi Milenial. Bahkan nyaris tak lagi ditemukan nama dengan pola satu suku kata di akhir era Generasi X.

Meski tingkat pendidikan rata-rata masih terbatas hingga menengah atas, pergeseran nama di era Generasi Milenial cukup mencengangkan. Polanya tidak lagi dua suku kata, tetapi bisa tiga atau empat suku kata dengan nama-nama yang tak biasa.

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa generasi ini tak bisa lepas dari gadget, maka kuatnya arus informasi turut memengaruhi dalam hal pemberian nama. 

Meski hidup di kampung, mereka akan menggunakan akses itu untuk pemberian nama pada anak-anaknya. Maka muncullah nama-nama seperti Fadlan Aditya al Fatih, Muhammad Reihan Alvaro, Danial Arsalan Jasser Pahlevi, Bilqis Keisya Puteri, Sirren Aliya Noor, atau Azka Aqilla Qirani Wazdi.

Dan pola baru tersebut merata di semua etnis.

Akankah generasi berikutnya kembali membentuk pola baru dari nama-nama? Wallahualam.

Bogor, 23 November 2021

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun