Terkecuali dengan nama-nama dari etnis Tionghoa yang biasanya terdiri dari tiga suku kata. Meski dalam panggilan sehari-hari hanya digunakan dua suku kata, seperti Cang Lim, Eng Tay, Jil Yong. Serta untuk perempuannya ada Kwang Kwang, Sin Hwa, atau Bun Tong.
Secara garis besar, nama yang berpola sederhana dengan satu suku kata itu terus bertahan sampai tiga generasi. Generasi Tradisional, Generasi Baby Bommer, hingga Generasi X.Â
Namun dengan kecenderungan unsur Islam yang kental. Seperti Abduloh (tidak lagi Duloh seperti era Generasi Tradisional), Hidayat, Komarudin. Pun untuk perempuannya seperti Jamilah, Rokoyah, Juwariah.
Termasuk juga dengan kehadiran etnis Madura di akhir 1980-an, rata-rata masih berpola satu suku kata. Ada Tiksan, Ahmad, Simal, dan Munip.
Pergeseran pola nama mulai tampak di era Generasi X ketika orang tua mereka dari Generasi Baby Bommer cukup beruntung mendapat pendidikan hingga sekolah lanjutan (SMEP dan SPG).Â
Dan itu hanya terjadi tidak lebih dari lima keluarga. Sementara rata-rata Generasi Baby Boomer di kampung kami hanya sekolah sampai tingkat sekolah dasar. Bahkan banyak yang tidak bersekolah. Umumnya kaum perempuan.
Maka anak-anaknya mulai menggunakan pola baru dalam pemberian nama yaitu dengan pola dua suku kata. Untuk laki-laki ada Dede Samsudin, Jajang Sutarman, atau Anwar Nurdin. Untuk anak perempuannya ada Lilis Kurniasih, Nenden Masyitoh, atau Helmi Riawati.Â
Sementara yang lainnya masih dengan pola satu suku kata.
Namun ada kejadian unik yang dialami Generasi X -termasuk penulis- pemilik nama dengan pola satu suku kata. Kebiasaan guru ngaji di kampung kami yang selalu memanggil murid laki-lakinya dengan tambahan 'Mad' sebagai sapaan khasnya.Â
Seperti Mad Soleh, Mad Yusup, atau Mad Said. Begitu pun untuk anak perempuan ditambahi dengan 'Siti', menjadi Siti Jamilah, Siti Juwariah.
Jadilah tambahan Mad dan Siti menjadi pola dua suku kata baru saat didaftarkan ke sekolah. Maklumlah saat itu masih belum menggunakan akte lahir sebagai syarat masuk sekolah.