"Seperti bahasa, uang adalah sistem simbol, baik berupa bobot dan ukuran, maupun tulisan," Karl Polanyi (antropolog)
Futurolog Alvin Toffler, membagi peradaban manusia dalam tiga fase gelombang. Pertama, gelombang agraris; kedua, gelombang industri; ketiga, gelombang informasi. Meskipun sebelum masuk fase gelombang agraris, manusia pernah berada di fase pemburu-pengumpul (hunter-gatherer).
Rangkaian fase gelombang peradaban tersebut berjalan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sekaligus juga merupakan bentuk keniscayaan sebuah evolusi. Termasuk di dalamnya evolusi alat transaksi pembayaran yang kita kenal sebagai uang.
Kita pernah diajari tentang sejarah aktivitas transaksi yang dilakukan manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Berawal dari tukar menukar barang (barter) hingga terciptanya alat pembayaran berupa barang komoditas, uang koin, dan uang kertas.Â
Sampai di fase gelombang informasi sekarang, entitas uang pun tinggal berupa angka-angka dalam bentuk digital. Menariknya, diksi 'koin' masih disematkan pada beberapa jenis mata uang digital (cryptocurrency) seperti bitcoin, dogecoin, litecoin, dan lain-lain.
Buah Peradaban
Sejarawan  Yuval Noah Harari menyebutkan bahwa revolusi kognisi yang terjadi pada homo sapiens telah menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang mampu berimajinasi, berkomunikasi, dan membuat narasi tentang suatu gagasan yang abstrak di luar realitas sebenarnya dibandingkan dengan spesies lain. Imajinasi inilah yang melahirkan peradaban, salah satunya adalah konsep uang sebagai alat transaksi untuk memperoleh barang.
Sebagai spesies pemburu-pengumpul (70.000 tahun yang lalu), manusia awalnya memenuhi kebutuhannya sendiri lewat berburu dan mengumpulkan hasil alam. Intinya, manusia masih memproduksi dan mengkonsumsi sendiri.
Saling ketergantungan akibat interaksi sosial antar kelompok membuahkan transaksi bertukar barang atau barter. Cara ini adalah bentuk imajinasi awal sebagai sistem pertukaran nilai yang bersifat ekonomi. Dan bisa disebut sebagai kepraktisan dalam pemenuhan kebutuhan.
Dan pada periode agraris (8.000 SM) kemudian berkembang dengan menetapkan satu jenis komoditas yang dianggap memiliki nilai atau manfaat dan berlaku secara umum sebagai alat tukar. Tergantung kondisi geografis masing-masing wilayah.
Bentuk awal dari alat transaksi itu diantaranya adalah jelai, sejenis padi yang digunakan oleh bangsa Sumeria (3.500 SM). Sementara bangsa Romawi Kuno menggunakan garam sebagai alat tukarnya.Â
Nun jauh di belahan benua lain, bangsa Aztec memakai biji coklat. Sementara di sebagian bangsa-bangsa wilayah Afrika, Asia Selatan, Timur, dan Tenggara hampir seragam alat tukarnya, yaitu kulit kerang. Itulah bentuk-bentuk 'uang' yang disepakati sebagai alat transaksi.
Karena 'uang-uang' tersebut dianggap kurang praktis dan tidak memiliki daya tahan cukup lama, maka konsep atau gagasan sebagai proses kreatif imajinasi terus berkembang hingga akhirnya muncul bentuk uang yang mempunyai nilai sendiri (nilai intrinsik). Bukan untuk dimanfaatkan sebagai komoditi.
Bangsa Mesopotamia Kuno (2.500 SM) disebut sebagai bangsa yang pertama kali memulai peradaban mata uang dari perak, yang dinamai shekel. Bentuknya belum berupa koin. Tapi seonggok perak dengan berat tertentu (8,33 gram). Indikator berat inilah akhirnya yang melahirkan bentuk uang koin sebagai standarisasi dalam bertransaksi.
Bentuk uang koin pertama kali dikenalkan oleh bangsa Lydia (640 SM) pada masa pemerintahan Raja Alyattes. Uang koin dari campuran emas dan perak yang disebut elekrum ini dianggap sangat modern karena ada keterangan nominal dan otoritas yang mengeluarkannya.Â
Inilah asal mula sebuah nilai tukar mempunyai pembanding dengan nilai barang serta adanya otoritas yang melindungi ke-berharga-an (nilai) uang sekaligus kepercayaan terhadap sosok otoritas, yaitu raja.
Dipilihnya emas dan perak sebagai bahan untuk uang koin karena kedua jenis logam tersebut cenderung tahan terhadap cuaca yang lembab sekalipun, tidak terlalu keras sehingga mudah dicetak, dan sangat sulit didapat. Hanya penguasa/otoritas tertentu saja yang bisa memproduksi mata uang tersebut.
Sementara bangsa Yunani di masa Croesus (550 SM) menciptakan uang logam baru selain emas dan perak dengan berbagai gambar yang menarik serta nilai tukarnya ditentukan dari bahan pembuatannya.
Bentuk uang koin emas, perak, dan logam ini akhirnya berhasil mendapatkan kepercayaan yang sangat besar selama ribuan tahun dan mencakup seluruh peradaban bangsa-bangsa. Terutama kawasan Eropa, Afrika, dan Asia.
Kekuasaan Romawi maupun Persia yang meliputi seluruh pesisir laut Mediterania, Eropa Selatan, sebagian Eropa Timur, Afrika Utara, dan kawasan Timur Tengah serta peran para saudagar/pedagang, akhirnya membuat uang koin denarius (denarii/dinar) sebagai mata uang Romawi dan drachma (dirham) yang menjadi mata uang Persia memiliki tingkat kepercayaan dan diterima secara universal.
Karena nama denarii/dinar dan dirham telah menjadi terminologi umum dari uang koin pada masa itu, tidak menutup kenyataan menjadi sebab (causa) diksi dinar dan dirham masuk dalam teks-teks literatur keagamaan Islam. Terutama setelah Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) dari Dinasti Umayyah mengadopsi dan menjadi penguasa Islam pertama yang memiliki dinar sendiri.
Hingga sekarang nama dinar masih dipergunakan sebagai nama mata uang di beberapa negara seperti Kuwait, Bahrain, Aljazair, Yordania, Tunisia, dan Libya.
Sementara negeri tirai bambu, pada masa kekuasaan Dinasti Tang di abad pertama masehi memilih mata uang kertas dikarenakan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku emas dan perak yang sangat terbatas pada masa itu.Â
Untuk bahan baku uang kertas pertama itu adalah kulit kayu murbei. Penggunaan uang kertas pun lalu diikuti oleh Itali pada abad ke-14, dan Amerika Serikat pada abad ke-17.
Berakhirnya era kolonialisme dan mulai terbentuk negara-negara bangsa (nation states), meningkat pula kegiatan-kegiatan ekonomi di setiap negara dengan menggunakan mata uangnya sendiri.Â
Baik berupa uang koin maupun uang kertas. Namun hegemoni kekuasaan tetaplah memegang peran penting bagaimana nilai sebuah mata uang dalam percaturan perdagangan internasional. Â
Mata uang dollar pun menjadi patokan karena negara Paman Sam 'dianggap' sebagai negara adidaya usai menjadi pemenang perang dunia kedua (WW2).
Berkat kemajuan teknologi, lahir pula jenis alat tukar baru selain uang. Tepatnya pada tahun 1946, kartu kredit mulai diperkenalkan sebagai alat tukar pengganti uang atau biasa disebut sebagai transaksi non-tunai. Sampai seorang Satoshi Nakamoto, pada tahun 2009 berhasil mengguncang dunia dengan mengembangkan uang elektronik yang diberi nama bitcoin.
Gelombang informasi sebagaimana yang disebut Alvin Toffler, akhirnya menciptakan bentuk uang yang hanya berupa informasi digital. Kini uang yang beredar di seluruh dunia, hampir 90% nya hanya berupa data digital di server komputer!
Kalau sosiolog Robert N Bellah pernah menyebut bahwa civil religion akan menggantikan peran dari traditional religion, dengan konsep ritual yang berbasis profan seperti nasionalisme, konstitusi, lagu kebangsaan, sebagai pengikat dan pembentuk karakter bangsa sebagaimana halnya agama.Â
Uang, sepertinya yang bisa menyatukan dan mengikat seluruh peradaban manusia. Apapun keyakinannya.
Peradaban manusia sekarang telah sampai pada titik dimana kepercayaan menjadi hal yang sangat krusial. Era dimana nilai sebuah uang hanya ditentukan oleh nilai kepercayaan kolektif. Tak perlu lagi wujudnya secara fisik. Sebagai buah peradaban, buah imajinasi yang benar-benar abstrak.
Bogor, 5 November 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H