Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kekekalan Keinginan

13 Juli 2021   11:47 Diperbarui: 13 Juli 2021   11:52 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak kecil, kita sebenarnya sudah menyaksikan sebuah ke-tidak kekal-an dalam kehidupan ini. Hingga kini pun telah -dan masih akan- menyaksikan semua itu. Tentang orang-orang di sekitar kita. Yang menua dan akhirnya tiada. Bahkan ada yang meninggal di usia muda. Ada yang datang dan ada yang pergi. Ada yang sehat dan terus sakit. Begitupun dengan segala kebendaan milik kita.

Tapi seringkali hal itu oleh kita dianggap 'hanya cocok' untuk orang lain. Tidak untuk diri kita sendiri. Bukan untuk kita. Sadar atau tidak sadar, kita akan (selalu) menolak itu. Kita lebih mudah dan suka menasihati akan 'ketidakkekalan' itu kepada orang lain.

Misal, ketika ada teman yang kehilangan pekerjaan atau kehilangan orang tercinta, kita lebih mudah menasihati dengan kata-kata bijak sebagai 'penghibur'. Tetapi manakala hal tersebut menimpa diri kita, maka seolah-olah kitalah yang paling merana di dunia. Tak menerima kenyataan tersebut terjadi pada diri kita.

Bukan berarti tidak boleh 'menghibur' atau menguatkan, tetapi selalu ada kecenderungan dalam diri kita untuk menolak keniscayaan itu kecuali jika terjadi pada orang lain.

Yang terlupakan

Hari ini, kita menyaksikan peristiwa ketidakkekalan itu bertubi-tubi. Tak hanya ada yang kehilangan pekerjaan, penghasilan, namun juga kehilangan orang-orang tercinta. Ayah-ibu, suami-isteri-anak, kerabat, dan sahabat. Karena wabah pandemi yang melanda negeri.

Ketidakkekalan itu begitu jelas tergambar di depan mata. Lalu lalang menghiasi pemberitaan di media. Yang tak kuasa kita hindari. Keniscayaan yang menghantui bak sebuah pertanyaan, akankah segera tiba giliran kita?

Kesadaran akan ketidakkekalan itu pun tersublimasi dalam bentuk empati, kepedulian untuk saling mengingatkan, saling menjaga, dan saling membantu dan berbagi. 

Budaya kita sepenuhnya adalah budaya yang penuh perhatian, kepedulian. Seperti kebiasaan untuk selalu menanyakan (seseorang) yang tidak ada, bagi yang sudah berkeluarga lazim terjadi. Misalnya, saat menghadiri acara pernikahan atau datang mengunjungi teman: Istri/suaminya kok tidak ikut? Anaknya mana? Pertanyaan itu kerap muncul ketika kita datang sendirian.

Jangan sebut itu kepo, mau tahu urusan orang. Kebiasaan menanyakan itu adalah sebentuk perhatian, kepedulian, dari tradisi yang masih tersisa. Yang mungkin berbeda dengan budaya luar atau modern yang cenderung individualis. Tak mau diusik dengan pertanyaan seperti itu.

Pada masa lalu, ada pula tradisi menyimpan kendi air di depan rumah yang diperuntukkan bagi mereka para musafir yang lewat. Siapapun silakan minum ketika haus. Itulah sebentuk kepedulian yang tulus tanpa memandang jati diri seseorang.

Kearifan budaya perhatian, kepedulian, kini hadir laksana perekat anak bangsa dalam menghadapi pandemi sekarang ini. Perhatian untuk saling menjaga, melindungi, dengan kesadaran bahwa kita pun bisa kena. Bisa tertular dan menularkan. Kita bisa menemukan itu di kolom-kolom media sosial yang menyediakan diri untuk membantu mereka yang terkena musibah.

Setiap orang tentu ingin bahagia, tak ingin jatuh menderita. Namun keduanya pasti akan silih berganti hadir dalam kehidupan kita. Itu menunjukkan bahwa segala sesuatu (di dunia ini) tidak ada yang kekal. 

Dalam segala segi apapun. Ketidakkekalan adalah inti dari keberadaan dunia ini. Kekekalan di dunia ini hanyalah ketidakkekalan itu sendiri.

Jeratan keinginan

Kesadaran akan ketidakkekalan bagi sebagian orang tetap masih tertutupi anggapan dan keinginan bahwa itu hanya berlaku bagi orang lain. Hanya cocok untuk orang lain. Maka muncullah perilaku yang tidak simpatik, tidak peduli, sombong, hingga mencari kesempatan di balik musibah pandemi ini. 

Ada yang korupsi dana bantuan. Menimbun obat-obatan, tabung oksigen. Komersialisasi dan penipuan. Bahkan menebar hoax. Perbuatan mereka ini jelas menggambarkan bahwa sebagian dari kita telah buta nurani dan penolakan akan arti ketidakkekalan.

Jeratan nafsu, keinginan, yang meninabobokan itu seperti pepatah, bagai meminum air lautan. Yang semakin diminum akan semakin haus. Karena keinginan itu tak mengenal batas.

Mereka lupa. Kalau  ingin senang, bahagia. Orang lain pun punya keinginan yang sama. Kita tak ingin disakiti, maka jangan menyakiti orang lain. Dengan berbuat korup,menimbun, menebar hoax, itu adalah perbuatan yang menyakiti orang lain. 

Harusnya itu menjadi pembelajaran untuk memperbaiki keinginan. Perlu kesungguhan dan mengubah pola komunikasi kita dengan pemahaman akan ketidakkekalan. Yakni dengan menyadari dan menerima kenyataan sebagai konsekuensi keberadaan kita. Pandemi mengingatkan itu dengan 'mengambil' orang-orang di sekitar kita.

Bogor, 13 Juli 2021      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun