Sejak kecil, kita sebenarnya sudah menyaksikan sebuah ke-tidak kekal-an dalam kehidupan ini. Hingga kini pun telah -dan masih akan- menyaksikan semua itu. Tentang orang-orang di sekitar kita. Yang menua dan akhirnya tiada. Bahkan ada yang meninggal di usia muda. Ada yang datang dan ada yang pergi. Ada yang sehat dan terus sakit. Begitupun dengan segala kebendaan milik kita.
Tapi seringkali hal itu oleh kita dianggap 'hanya cocok' untuk orang lain. Tidak untuk diri kita sendiri. Bukan untuk kita. Sadar atau tidak sadar, kita akan (selalu) menolak itu. Kita lebih mudah dan suka menasihati akan 'ketidakkekalan' itu kepada orang lain.
Misal, ketika ada teman yang kehilangan pekerjaan atau kehilangan orang tercinta, kita lebih mudah menasihati dengan kata-kata bijak sebagai 'penghibur'. Tetapi manakala hal tersebut menimpa diri kita, maka seolah-olah kitalah yang paling merana di dunia. Tak menerima kenyataan tersebut terjadi pada diri kita.
Bukan berarti tidak boleh 'menghibur' atau menguatkan, tetapi selalu ada kecenderungan dalam diri kita untuk menolak keniscayaan itu kecuali jika terjadi pada orang lain.
Yang terlupakan
Hari ini, kita menyaksikan peristiwa ketidakkekalan itu bertubi-tubi. Tak hanya ada yang kehilangan pekerjaan, penghasilan, namun juga kehilangan orang-orang tercinta. Ayah-ibu, suami-isteri-anak, kerabat, dan sahabat. Karena wabah pandemi yang melanda negeri.
Ketidakkekalan itu begitu jelas tergambar di depan mata. Lalu lalang menghiasi pemberitaan di media. Yang tak kuasa kita hindari. Keniscayaan yang menghantui bak sebuah pertanyaan, akankah segera tiba giliran kita?
Kesadaran akan ketidakkekalan itu pun tersublimasi dalam bentuk empati, kepedulian untuk saling mengingatkan, saling menjaga, dan saling membantu dan berbagi.Â
Budaya kita sepenuhnya adalah budaya yang penuh perhatian, kepedulian. Seperti kebiasaan untuk selalu menanyakan (seseorang) yang tidak ada, bagi yang sudah berkeluarga lazim terjadi. Misalnya, saat menghadiri acara pernikahan atau datang mengunjungi teman: Istri/suaminya kok tidak ikut? Anaknya mana? Pertanyaan itu kerap muncul ketika kita datang sendirian.
Jangan sebut itu kepo, mau tahu urusan orang. Kebiasaan menanyakan itu adalah sebentuk perhatian, kepedulian, dari tradisi yang masih tersisa. Yang mungkin berbeda dengan budaya luar atau modern yang cenderung individualis. Tak mau diusik dengan pertanyaan seperti itu.
Pada masa lalu, ada pula tradisi menyimpan kendi air di depan rumah yang diperuntukkan bagi mereka para musafir yang lewat. Siapapun silakan minum ketika haus. Itulah sebentuk kepedulian yang tulus tanpa memandang jati diri seseorang.