Oke, andai saja kita sudah melewati gangguan di atas. Kaum-kaum fanatik yang bikin darah tinggi sudah kita hindari. Kita juga sudah memasang muka tembok nan tebal dan mempelajari seni bersikap masa bodoh terhadap para buzzer. Sekarang, kita sudah siap untuk menyatakan dukungan terhadap paslon atau parpol tertentu. Pertanyaan selanjutnya: memangnya mereka layak didukung?
Bagian ini mungkin akan menjadi yang paling kontroversial dan memantik amarah sejumlah orang. Seakan-akan, dari ribuan politisi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, tidak ada satupun orang yang pantas memperoleh support.Â
Saya juga paham kalau masih ada politisi yang bergabung ke tatanan pemerintahan dan memperjuangkan hak masyarakat. Tetapi, antara jumlahnya tidak banyak atau kinerja mereka tertutup oleh politisi yang cuma mengincar jabatan dan kekuasaan.
Atau, yang malah sering kali terjadi, hanya karena kesalahan yang mereka perbuat di masa lampau, kepercayaan masyarakat justru memudar. Manusia memang tidak ada yang sempurna dan tempatnya berbuat kesalahan. Tetapi, dalam kasus politisi yang nantinya akan mewakili rakyatnya, besar kemungkinannya perbuatan salah ini menjadi cerminan ketika sudah memimpin. Pepatah "karena nila setitik rusak susu sebelanga" ini amat berlaku bagi mereka. Dan situasi ini semakin diperburuk dengan kelakuan-kelakuan dari pendahulu mereka, yang boleh jadi semakin mengikis rasa kepercayaan orang-orang terhadap instansi pemerintah.
Coba kita tengok 3 paslon yang bertempur memperebutkan kursi lembaga eksekutif: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Semua paslon membawa visi-misi dan kelebihannya tersendiri, yang di atas kertas, tentunya bertujuan memajukan Indonesia. Sayangnya, mereka-mereka ini memiliki problematikanya tersendiri yang membuat orang-orang macam saya skeptis untuk memilih.Â
Di titik ini, saya bisa saja menjabarkan secara lengkap kelebihan dan kekurangan para paslon ini. Tetapi, sudah banyak pemberitaan di media yang meng-cover perihal macam ini. Banyak juga situs dan akun media sosial yang berbaik hati sudah membeberkan segala macam hal yang perlu diketahui soal paslon-paslon yang bertempur di Pilpres ini. Untuk mempersingkat isi tulisan juga, jadi saya merasa tidak perlu lah menulis hal suatu topik yang sudah berulang-ulang kali dibahas di banyak platform.
Satu alasan tambahan kenapa saya tidak mau membahas permasalahan paslon ini karena khawatir tulisan yang sudah subjektif, menjadi semakin subjektif. Sejauh ini, sudah terlihat jelas kalau sentimen saya mengenai politik itu sejauh ini negatif. Yang ada, alih-alih memberikan catatan positif, saya malah sibuk mengkritik dan cenderung nitpicking terhadap kekurangan mereka. "Credit where credit's due" yang saya utarakan di atas malah tidak berlaku. Kalau sudah begini, apa bedanya saya dengan para buzzer ini? Mending saya diam saja daripada memperkeruh suasana.
Tetapi, beda halnya kalau membicarakan parpol yang membeking mereka. Kali ini saya tidak peduli jika ucapan saya terlalu keras. Soalnya, tidak akan ada habisnya membahas kebusukan-kebusukan mereka. Andai pembahasan soal paslon tadi saya lengkapi, setidaknya saya masih bisa hal-hal positif yang mereka miliki. Namun, posisi saya soal parpol ini sama: tidak ada satupun parpol yang saya anggap memiliki calon legislatif (caleg) layak duduk di kursi DPR atau menjadi menteri. Saya anggap semuanya sama, hanya berorientasi kepada uang dan kekuasaan. Â Boleh dibuktikan jika saya memang salah.Â
Kalau melihat media sosial atau portal berita, ada saja politisi, mau itu dari pusat atau dari daerah, anggota dewan atau kepala daerah, berposisi staf atau sudah jadi kepala bagian, yang terjerat masalah. Paling tidak, seminggu sekali ada kasus-kasus entah itu korupsi, kekerasan, atau sesederhana mengeluarkan statement konyol. Ini sudah sangat sering terjadi. Kalau begini, sulit bagi saya pribadi untuk tidak suudzon kalau mereka memang sama sekali tidak memedulikan warganya.
Logikanya begini. Kenapa setiap rakyat menyampaikan aspirasi, mereka selalu berkelit dengan alasan A-Z? Memangnya masyarakat sebodoh itukah, sampai-sampai tidak bisa membedakan mana yang dongeng dan mana yang merupakan alasan valid?Â
Contoh lain, saya hampir tidak pernah mendengar demonstrasi yang benar-benar didengar oleh anggota legislatif. Rasanya, aspirasi demonstran masuk ke kuping kiri dan keluar melalui kuping kanan. Kasus terakhir, kenapa mereka bisa-bisanya melakukan korupsi? Sampai-sampai, ada yang takut korupsinya dibongkar sehingga mau melakukan apapun untuk menjaga rahasia busuk ini? Padahal, mereka sadar betul kalau yang mereka curi itu adalah uang rakyat.