Disclaimer: artikel ini merupakan opini "anak muda" yang nantinya akan mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) keduanya pada 14 Februari 2024. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendapat yang dimuat bisa bersifat subjektif, meskipun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin untuk berada di posisi netral. Dengan demikian, penulis amat terbuka atas saran, opini, maupun perbaikan fakta yang bisa jadi salah. Terima kasih atas pengertiannya.
Bagi segelintir orang, Pemilu pertamanya merupakan hari yang istimewa. Bagaimana tidak? Mereka secara langsung aktif berpartisipasi dalam menentukan masa depan Indonesia, dengan cara memilih sosok yang layak dianggap menjadi presiden dan wakil presiden, dan siapa saja orang-orang yang berhak duduk di kursi parlemen.Â
Tapi, hal ini tidak berlaku untuk saya. Tanggal 17 April 2019 seharusnya menjadi hari di mana saya. seharusnya, ikut menyatakan pilihan terhadap sosok pemimpin negara. Usia saya saat itu menginjak 22 tahun 11 bulan, sangat cukup untuk memilih anggota legislatif dan anggota eksekutif RI. Saya melewatkan kesempatan di Pemilu 2014 karena saat itu, usia saya belum menyentuh 17 tahun.Â
Saat itu, boro-boro mencoblos. Datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) saja saya enggan. Pada masa itu, saya teramat apatis dengan kondisi perpolitikan dan pemerintahan Tanah Air.Â
"Mau siapa yang jadi presiden atau anggota DPR juga gue nggak akan terpengaruh," begitulah kurang lebih isi pemikiran saya. Â
Saat itu, saya sama sekali tidak tertarik mendekati yang namanya politik. Di mata saya, politik itu hanya berisikan orang-orang tua yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Politik, jika ada baunya, itu pasti beraroma busuk.
Waktu berjalan dengan cepat. Pada akhir 2022 lalu, saya mendapat pekerjaan yang membuat saya mau tidak mau harus mengetahui seluk-beluk perpolitikan Indonesia untuk Pemilu 2024 nanti.Â
Agak lucu memang, seakan jalan hidup yang saya hindari mati-matian, nyatanya kembali dengan cara yang, sebenarnya sudah saya duga, namun tetap saja agak menjengkelkan. Dan di pekerjaan baru ini, saya bisa menyimpulkan kalau apa yang saya pikirkan bertahun-tahun lalu, itu... Benar adanya.
Kalau dahulu, saya tahu politik itu busuk tanpa mengetahui apa yang para politisi itu perbuat, sekarang saya tahu sebagian kecil dari berbagai tindakan yang mereka lakukan demi mencapai tujuan tersebut.Â
Dengan logika seperti ini, mungkin ada segelintir yang berpikir untuk memastikan diri agar menggunakan suara dengan bijak, memilih orang-orang yang layak menjadi wajah negara ini. Bukankah begitu? Bukan. Setidaknya untuk saya pribadi, lho ya.
Terus terang saja, saya menganggap lanskap politik di Indonesia itu sangat menyebalkan, terlebih untuk anak muda. Dan alasannya itu banyak sekali. Kita mulai dari contoh sederhana, yakni fanatisme buta dari orang-orang, yang bisa jadi bisa ditemukan di lingkungan sekitar. Dukungan membabi buta terhadap salah satu pasangan calon (paslon) maupun partai politik (parpol) ini rasanya sudah masuk ke tahap mengkhawatirkan.
Mari kita buat sebuah studi kasus. Saya cukup yakin kalau ada segelintir orang yang melihat, ada beberapa kenalan di grup chat, baik itu di grup keluarga, grup perkantoran, grup komunitas, atau grup lainnya, yang mengumbar rasa cintanya terhadap politisi atau parpol tertentu. Hal itu seharusnya tidak jadi masalah. Politik, jika dibincangkan atau didiskusikan secara santai, sangat bisa menjadi asik. Tetapi, dalam beberapa kasus, para penggemar fanatik ini membuat politik seakan jadi tidak lagi menarik untuk dibahas.
Diskusi-diskusi yang awalnya hangat berubah jadi panas. Tidak jarang mereka memaksa orang lain untuk menghormati pendapatnya, namun tidak mengindahkan opini lawan bicaranya. Atau lebih parah lagi jika mereka terang-terangan memaksa orang lain untuk mengikuti pilihannya. Atau amit-amit, mereka mengancam melakukan tindakan tidak etis jika orang lain tidak mengikuti pilihannya.
Anda tidak mengalami peristiwa seperti itu? Beruntunglah, karena saya juga tidak kedapatan melihat contoh di atas. Tetapi, saya tahu betul masih ada orang-orang  tidak beruntung yang bisa saja menjadi korban dari kejadian macam itu.Â
Sebagai perbandingan, jika kita saja malas melihat orang-orang yang terlalu fanatik dengan, misalnya, klub sepak bola, grup musik, atau franchise film, apa kabarnya ketika kita menemukan mereka yang, entah kenapa, sangat memuja-muja politisi atau parpol tertentu? Mengidolakan boleh saja, tapi kalau tarafnya sudah sampai fanatik, itu tidak baik.
Berbicara soal para penggemar fanatik, kita bisa melanjutkan pembahasan ke orang-orang yang sama, namun kali ini di media sosial. Mereka dikenal dengan istilah "buzzer". Jujur, saya muak dan eneg melihat kelakuan mereka sehari-hari, mau itu di Twitter (X), Instagram, TikTok, Facebook, atau platform lainnya. Yang menjadi titik permasalahan adalah fakta bahwa mereka sudah mengganggu ruang publik, khususnya dalam kebebasan berpendapat.
Memberi kritik atau pujian terhadap pendapat, gagasan, atau tindakan paslon atau parpol menjadi hal yang sulit karena keberadaan para "penjilat" ini. Mereka seakan tidak menyadari ada yang namanya pepatah "credit where credit's due". Â Sederhananya, kalau bagus ya dipuji dan didukung, tapi kalau jelek ya sudah sepantasnya dikritik dan diluruskan. Tetapi, sepertinya buzzer ini tidak memahami mekanisme macam itu.
Kalau ada yang melontarkan kritik, mereka akan menyerang pengkritik dengan membabi buta, melontarkan makian secara frontal, sampai mempertanyakan intelektualitas dari orang tersebut.Â
Senjata terakhir, jika semua hal tadi sudah dilaksanakan, adalah menuduh pengkritik "buzzer" dari pihak lain, sesuatu yang sangat konyol. Dan sayangnya, penyematan label "buzzer" ini juga tetap akan dilakukan jika seseorang melontarkan pujian terhadap pihak tertentu. Pokoknya, di benak mereka, semua pendapat harus sama. Kalau beda, akan diserang.
Pengerahan buzzer ini saya anggap sudah mencederai latar belakang Indonesia sebagai negara demokrasi, serta mempertanyakan "Bhineka Tunggal Ika" sebagai semboyan negara, dalam kasus ini, perbedaan dalam pandangan politik. Katanya, berbeda-beda tapi tetap satu. Tapi giliran ada yang berbeda, kok dijadikan musuh?
Mungkin, counter argument untuk poin di atas adalah untuk menghiraukan para buzzer atau orang-orang berlabel toxic ini. Nanti mereka juga lama-lama capek sendiri.Â
Jadi, kalau sudah ingin mendukung satu pihak, ya sudah dukung saja. Dan kalau mau berpendapat, belajar, memuji, atau mengkritik, ya monggo tinggal dilakukan. Tetapi, saya merasa ini bukan solusi yang bagus. Ibaratkan, tanaman yang diserang hama, tetap dirawat seperti biasa seakan-akan hama ini bukan hal penting. Kalau dibiarkan, yang ada mereka akan tambah merajalela dan bertingkah seenaknya.
Memangnya, Politisi Indonesia Layak?
Oke, andai saja kita sudah melewati gangguan di atas. Kaum-kaum fanatik yang bikin darah tinggi sudah kita hindari. Kita juga sudah memasang muka tembok nan tebal dan mempelajari seni bersikap masa bodoh terhadap para buzzer. Sekarang, kita sudah siap untuk menyatakan dukungan terhadap paslon atau parpol tertentu. Pertanyaan selanjutnya: memangnya mereka layak didukung?
Bagian ini mungkin akan menjadi yang paling kontroversial dan memantik amarah sejumlah orang. Seakan-akan, dari ribuan politisi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, tidak ada satupun orang yang pantas memperoleh support.Â
Saya juga paham kalau masih ada politisi yang bergabung ke tatanan pemerintahan dan memperjuangkan hak masyarakat. Tetapi, antara jumlahnya tidak banyak atau kinerja mereka tertutup oleh politisi yang cuma mengincar jabatan dan kekuasaan.
Atau, yang malah sering kali terjadi, hanya karena kesalahan yang mereka perbuat di masa lampau, kepercayaan masyarakat justru memudar. Manusia memang tidak ada yang sempurna dan tempatnya berbuat kesalahan. Tetapi, dalam kasus politisi yang nantinya akan mewakili rakyatnya, besar kemungkinannya perbuatan salah ini menjadi cerminan ketika sudah memimpin. Pepatah "karena nila setitik rusak susu sebelanga" ini amat berlaku bagi mereka. Dan situasi ini semakin diperburuk dengan kelakuan-kelakuan dari pendahulu mereka, yang boleh jadi semakin mengikis rasa kepercayaan orang-orang terhadap instansi pemerintah.
Coba kita tengok 3 paslon yang bertempur memperebutkan kursi lembaga eksekutif: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Semua paslon membawa visi-misi dan kelebihannya tersendiri, yang di atas kertas, tentunya bertujuan memajukan Indonesia. Sayangnya, mereka-mereka ini memiliki problematikanya tersendiri yang membuat orang-orang macam saya skeptis untuk memilih.Â
Di titik ini, saya bisa saja menjabarkan secara lengkap kelebihan dan kekurangan para paslon ini. Tetapi, sudah banyak pemberitaan di media yang meng-cover perihal macam ini. Banyak juga situs dan akun media sosial yang berbaik hati sudah membeberkan segala macam hal yang perlu diketahui soal paslon-paslon yang bertempur di Pilpres ini. Untuk mempersingkat isi tulisan juga, jadi saya merasa tidak perlu lah menulis hal suatu topik yang sudah berulang-ulang kali dibahas di banyak platform.
Satu alasan tambahan kenapa saya tidak mau membahas permasalahan paslon ini karena khawatir tulisan yang sudah subjektif, menjadi semakin subjektif. Sejauh ini, sudah terlihat jelas kalau sentimen saya mengenai politik itu sejauh ini negatif. Yang ada, alih-alih memberikan catatan positif, saya malah sibuk mengkritik dan cenderung nitpicking terhadap kekurangan mereka. "Credit where credit's due" yang saya utarakan di atas malah tidak berlaku. Kalau sudah begini, apa bedanya saya dengan para buzzer ini? Mending saya diam saja daripada memperkeruh suasana.
Tetapi, beda halnya kalau membicarakan parpol yang membeking mereka. Kali ini saya tidak peduli jika ucapan saya terlalu keras. Soalnya, tidak akan ada habisnya membahas kebusukan-kebusukan mereka. Andai pembahasan soal paslon tadi saya lengkapi, setidaknya saya masih bisa hal-hal positif yang mereka miliki. Namun, posisi saya soal parpol ini sama: tidak ada satupun parpol yang saya anggap memiliki calon legislatif (caleg) layak duduk di kursi DPR atau menjadi menteri. Saya anggap semuanya sama, hanya berorientasi kepada uang dan kekuasaan. Â Boleh dibuktikan jika saya memang salah.Â
Kalau melihat media sosial atau portal berita, ada saja politisi, mau itu dari pusat atau dari daerah, anggota dewan atau kepala daerah, berposisi staf atau sudah jadi kepala bagian, yang terjerat masalah. Paling tidak, seminggu sekali ada kasus-kasus entah itu korupsi, kekerasan, atau sesederhana mengeluarkan statement konyol. Ini sudah sangat sering terjadi. Kalau begini, sulit bagi saya pribadi untuk tidak suudzon kalau mereka memang sama sekali tidak memedulikan warganya.
Logikanya begini. Kenapa setiap rakyat menyampaikan aspirasi, mereka selalu berkelit dengan alasan A-Z? Memangnya masyarakat sebodoh itukah, sampai-sampai tidak bisa membedakan mana yang dongeng dan mana yang merupakan alasan valid?Â
Contoh lain, saya hampir tidak pernah mendengar demonstrasi yang benar-benar didengar oleh anggota legislatif. Rasanya, aspirasi demonstran masuk ke kuping kiri dan keluar melalui kuping kanan. Kasus terakhir, kenapa mereka bisa-bisanya melakukan korupsi? Sampai-sampai, ada yang takut korupsinya dibongkar sehingga mau melakukan apapun untuk menjaga rahasia busuk ini? Padahal, mereka sadar betul kalau yang mereka curi itu adalah uang rakyat.
Apa sih sebenarnya tujuan saya panjang lebar membeberkan kejelekan para politisi ini? Sedikit cerita, saya menganggap diri sendiri sebagai orang yang realistis. Jika tidak bisa memperoleh atau mencapai sesuatu, ya sudah saya tinggalkan. Tetapi, kalau berbicara soal negara, saya mau tidak mau harus memasukan sedikit idealisme pribadi. Saya tidak mau Indonesia, yang sayangnya sudah banyak disebut kerusakannya sistematis, benar-benar sampai mengalami hal macam itu.
Berlebihan? Saya rasa tidak. Tentu saja, wong saya tinggal di sini, kerja di sini, punya keluarga dan tanggungan. Saya ingin membayangkan tinggal di lingkungan terbaik. Dan baik itu secara langsung maupun tidak langsung, memilih presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif ini pastinya akan mempengaruhi lingkungan saya tinggal nanti. Itu alasan kenapa saya bersikap kritis terhadap jajaran pemerintahan.Â
Kesimpulan dan Penutup
Untuk kesimpulan dan penutup, saya sengaja pisah sendiri karena ada pesan yang sebenarnya nggak penting-penting amat, terutama datang dari orang yang bukan siapa-siapa. Meskipun begitu, saya merasa ini tetap harus disampaikan, supaya artikel bisa berakhir dengan hati dan kepala dingin.
Pertama, saya tidak mengimbau, apalagi mengajak orang-orang untuk menjadi golongan putih alias golput. Saya cuma menyampaikan keresahan saya soal lanskap politik Tanah Air menurut kacamata saya. Jika ada pembaca yang sudah menentukan pilihannya tersendiri, silakan dilanjutkan terhadap pilihannya. Jujur, saya belum mempunyai pihak yang saya rasa saya bisa dukung. Dan saya tidak mau mencoblos mereka yang dianggap sebagai "lesser evil" atau "pilihan terbaik di antara yang terburuk". Itu merupakan idealisme saya yang saya tahu belum tentu benar, tapi saya terapkan.
Kedua, saya juga tidak menyerang paslon maupun parpol manapun. Apa yang saya tulis di atas, murni berdasarkan riset dan pemantauan di media sosial jelang tahun politik ini. Seperti yang saya utarakan di atas, jika memang ada kesalahan dalam penulisan data, silakan disampaikan. Kalau ada perbedaan pandangan dan pendapat, saya juga bersedia membuka diskusi dan menambah wawasan soal informasi yang saya belum ketahui.
Ketiga dan terakhir, saya paham kok kalau pemerintah Indonesia tidak semuanya diisi oleh politisi busuk. Ada juga politisi-politisi lain yang bekerja dengan sungguh-sungguh, ditopang oleh pihak-pihak lain macam akademisi, pengusaha, orang militer, dan lainnya. Yang saya kritisi di atas adalah mereka yang cuma menumpang nama dan jabatan, tetapi tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi rakyatnya.
Sebagai penutup, saya merasa Pemilu 2024 ini menjadi salah satu milestone penting bagi rakyat Indonesia. Siapapun yang terpilih nanti, akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan Jokowi, yang sudah terlanjur menggembar-gemborkan slogan "Indonesia Emas 2045".Â
Orang ini punya tugas berat lho, dalam mengubah wajah Indonesia dari "negara berkembang" menjadi "negara maju". Dan saya merasa kalau slogan tersebut hanya akan menjadi angan-angan semata jika tidak ada pembenahan di berbagai aspek kenegaraan, salah satunya politik.
Mau itu orangnya, sistemnya, sampai pendukung di akar rumput, semuanya harus diperbaiki. Saya paham kalau pemilu itu adalah kontes bagi para politisi dan parpol. Tetapi, berkompetisilah secara sehat. Kalau mau saling sikut-sikutan, gunakan ide dan gagasan, bukan trik kotor dan tipu muslihat yang menjatuhkan lawan. Dan selalu ingat kalau nantinya, kalian akan mewakili kami, rakyat. Semoga Pemilu 2024 ini menjadi titik awal dari kebangkitan Indonesia sebagai negara maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H