Mari kita buat sebuah studi kasus. Saya cukup yakin kalau ada segelintir orang yang melihat, ada beberapa kenalan di grup chat, baik itu di grup keluarga, grup perkantoran, grup komunitas, atau grup lainnya, yang mengumbar rasa cintanya terhadap politisi atau parpol tertentu. Hal itu seharusnya tidak jadi masalah. Politik, jika dibincangkan atau didiskusikan secara santai, sangat bisa menjadi asik. Tetapi, dalam beberapa kasus, para penggemar fanatik ini membuat politik seakan jadi tidak lagi menarik untuk dibahas.
Diskusi-diskusi yang awalnya hangat berubah jadi panas. Tidak jarang mereka memaksa orang lain untuk menghormati pendapatnya, namun tidak mengindahkan opini lawan bicaranya. Atau lebih parah lagi jika mereka terang-terangan memaksa orang lain untuk mengikuti pilihannya. Atau amit-amit, mereka mengancam melakukan tindakan tidak etis jika orang lain tidak mengikuti pilihannya.
Anda tidak mengalami peristiwa seperti itu? Beruntunglah, karena saya juga tidak kedapatan melihat contoh di atas. Tetapi, saya tahu betul masih ada orang-orang  tidak beruntung yang bisa saja menjadi korban dari kejadian macam itu.Â
Sebagai perbandingan, jika kita saja malas melihat orang-orang yang terlalu fanatik dengan, misalnya, klub sepak bola, grup musik, atau franchise film, apa kabarnya ketika kita menemukan mereka yang, entah kenapa, sangat memuja-muja politisi atau parpol tertentu? Mengidolakan boleh saja, tapi kalau tarafnya sudah sampai fanatik, itu tidak baik.
Berbicara soal para penggemar fanatik, kita bisa melanjutkan pembahasan ke orang-orang yang sama, namun kali ini di media sosial. Mereka dikenal dengan istilah "buzzer". Jujur, saya muak dan eneg melihat kelakuan mereka sehari-hari, mau itu di Twitter (X), Instagram, TikTok, Facebook, atau platform lainnya. Yang menjadi titik permasalahan adalah fakta bahwa mereka sudah mengganggu ruang publik, khususnya dalam kebebasan berpendapat.
Memberi kritik atau pujian terhadap pendapat, gagasan, atau tindakan paslon atau parpol menjadi hal yang sulit karena keberadaan para "penjilat" ini. Mereka seakan tidak menyadari ada yang namanya pepatah "credit where credit's due". Â Sederhananya, kalau bagus ya dipuji dan didukung, tapi kalau jelek ya sudah sepantasnya dikritik dan diluruskan. Tetapi, sepertinya buzzer ini tidak memahami mekanisme macam itu.
Kalau ada yang melontarkan kritik, mereka akan menyerang pengkritik dengan membabi buta, melontarkan makian secara frontal, sampai mempertanyakan intelektualitas dari orang tersebut.Â
Senjata terakhir, jika semua hal tadi sudah dilaksanakan, adalah menuduh pengkritik "buzzer" dari pihak lain, sesuatu yang sangat konyol. Dan sayangnya, penyematan label "buzzer" ini juga tetap akan dilakukan jika seseorang melontarkan pujian terhadap pihak tertentu. Pokoknya, di benak mereka, semua pendapat harus sama. Kalau beda, akan diserang.
Pengerahan buzzer ini saya anggap sudah mencederai latar belakang Indonesia sebagai negara demokrasi, serta mempertanyakan "Bhineka Tunggal Ika" sebagai semboyan negara, dalam kasus ini, perbedaan dalam pandangan politik. Katanya, berbeda-beda tapi tetap satu. Tapi giliran ada yang berbeda, kok dijadikan musuh?
Mungkin, counter argument untuk poin di atas adalah untuk menghiraukan para buzzer atau orang-orang berlabel toxic ini. Nanti mereka juga lama-lama capek sendiri.Â
Jadi, kalau sudah ingin mendukung satu pihak, ya sudah dukung saja. Dan kalau mau berpendapat, belajar, memuji, atau mengkritik, ya monggo tinggal dilakukan. Tetapi, saya merasa ini bukan solusi yang bagus. Ibaratkan, tanaman yang diserang hama, tetap dirawat seperti biasa seakan-akan hama ini bukan hal penting. Kalau dibiarkan, yang ada mereka akan tambah merajalela dan bertingkah seenaknya.