Mohon tunggu...
Mohammad Adrianto Sukarso
Mohammad Adrianto Sukarso Mohon Tunggu... Lainnya - Apapun Yang Menurut Saya Menarik

Lulusan prodi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta yang sekarang sudah mendapat pekerjaan di bidang menulis. Masih berharap punya tekad untuk menulis lebih bebas di platform ini.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Mengenang Lazio sebagai Kuda Hitam Penjegal Para Raksasa

8 September 2023   08:45 Diperbarui: 8 September 2023   17:11 4643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejutan-kejutan ini mungkin tidak membawa gelar apa-apa bagi Lazio. Tetapi, ada rasa bangga tersendiri melihat klub kesayangan yang notabene tidak memiliki skuad mentereng tapi mampu mengubur klub rival yang bisa dibilang lebih kualitas di atasnya. Ini seakan menjadi kemenangan tersendiri bagi Laziale. Lagi pula, tidak semua kisah kuda hitam ini hanya berupa menggagalkan ambisi klub besar saja. Ada masanya di mana Lazio mampu merengkuh trofi seperti Coppa Italia atau Supercoppa Italiana. Di era 2000-an, Elang Ibu kota meraih 5 Coppa Italia dan 4 Supercoppa Italiana. Dan semuanya diraih setelah melewati halangan klub-klub kuat.

Tempat Berkumpulnya Pemain Underdog

Miroslav Klose berselebrasi merayakan gol (Sumber: Transfermarkt)
Miroslav Klose berselebrasi merayakan gol (Sumber: Transfermarkt)

Memasuki periode 2010-an, Lazio sempat dilatih oleh beberapa pelatih kawakan macam Vladimir Petkovic dan Edoardo Reja. Meskipun tidak mendulang prestasi gemilang, keduanya mampu membawa Lazio bersaing dengan klub papan atas Serie A, masih sering menjadi batu sandungan bagi para penantang titel Scudetto.

Beberapa pemain seperti Hernanes, Antonio Candreva, Felipe Anderson, dan mungkin yang paling diingat, penyerang legendaris Jerman Miroslav Klose, datang di era tersebut. Mereka dikenal sebagai pemain yang kerap merepotkan tim lawan ketika membela Lazio. Hernanes dengan umpan ciamik dan tendangan jarak jauh, Candreva serta Anderson dengan kecepatan dan kemampuan olah bola, serta tentunya Klose yang mampu menyelesaikan peluang dengan baik. Meskipun begitu, tidak semua penggemar sepak bola mengetahui kemampuan punggawa Lazio ini.

Tidak menutup kemungkinan ada juga yang meremehkan mereka. Aziz ingat betul ketika Klose dianggap sudah terlalu uzur dan tidak akan membawa dampak besar bagi klub. Namun, pencetak gol terbanyak di Piala Dunia ini membungkam para peragu.  Lima musim di klub tersebut, Klose bermain sebanyak 169 kali, mencetak 61 gol dan 31 asis. 

Sang raja udara ini juga membantu Lazio memperoleh Coppa Italia ke-6 mereka di musim 2012/2013. Semakin spesial karena kemenangan diraih setelah melawan rival sekota, AS Roma di Stadion Olimpico. Kota Roma menjadi biru pada hari itu. “Waktu Klose dibeli Lazio, gue diledekin sama teman-teman, dibilang Klose udah tua, udah habis. Eh, nggak taunya dia terus nyetak gol,” kenang Aziz di masa remajanya. “Klose juga tampil lebih banyak lho dibanding dia di (Bayern) Munich atau (Werder) Bremen,” lanjutnya.

Sebagai perbandingan, Klose memang hanya tampil 150 kali di klub asal Bavaria tersebut dan 132 kali di Werder Bremen.
Meskipun Klose adalah pemain yang cukup dikenang, nyatanya Aziz punya dua nama yang justru melekat di kenangannya. Mereka adalah Goran Pandev dan Mauro Zarate. Mereka yang tidak menggemari Serie A mungkin tidak mengenal dua penyerang ini. Namun, Aziz dan tifosi lain ingat betul kebolehan mereka di Serie A.

Pandev bergabung di musim 2004/2005 dari Internazionale, sementara Zarate sempat dipinjam Lazio dari klub asal Qatar, Al-Sadd pada musim 2008/2009, sebelum akhirnya dipermanenkan satu musim setelahnya. Dan mereka hanya bermain bersama selama semusim lantaran Pandev kembali dibeli Si Ular Besar di musim di mana Zarate dipermanenkan. Meskipun begitu, bersama dengan Tomasso Rocchi, mereka membentuk trio penyerang yang cukup mematikan. Total ketiganya mencetak 31 gol, membawa Lazio menjuarai Coppa Italia dan meloloskan Elang Ibu Kota ke Liga Eropa kendati hanya finis di posisi 10 klasemen Serie A.

“Yang gue inget itu Rocchi di tengah, Pandev di kanan, trus Zarate di kiri. Pandev dulu lebih ke pengobrak-abrik pertahanan lawan gitu. Kalo Zarate dia bisa cari celah buat nendang bola dan masuk. Dulu finisher utamanya itu si Rocchi,” beber Aziz. Zarate sendiri mencetak 13 gol, sementara masing-masing Pandev dan Rocchi berhasil membuat 9 gol di musim itu.

Terus Terbang Lebih Tinggi

Luis Alberto, Ciro Immobile, dan Sergej Milinkovic Savic berlatih bersama (Sumber: Getty Images/Paulo Bruno)
Luis Alberto, Ciro Immobile, dan Sergej Milinkovic Savic berlatih bersama (Sumber: Getty Images/Paulo Bruno)

Semenjak ditangani legenda klub Simone Inzaghi pada musim 2016/2017, Lazio semakin menunjukkan bahwa mereka layak diperhitungkan di papan atas Serie A, tidak hanya menjadi penghibur papan tengah saja. Di bawah tangan dinginnya, Lazio meraih 1 Coppa Italia dan 2 Supercoppa Italiana. Inzaghi berhasil mengorbitkan serta memboyong beberapa pemain yang kini menjadi tulang punggung Lazio seperti Ciro Immobile, Luis Alberto, dan Adam Marusic yang masih bertahan, serta Joaquin Correa yang kini berada di Marseille serta Sergej Milinkovic Savic yang sudah hijrah ke Al-Hilal di Arab Saudi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun