Mohon tunggu...
Mohammad Adrianto Sukarso
Mohammad Adrianto Sukarso Mohon Tunggu... Lainnya - Apapun Yang Menurut Saya Menarik

Lulusan prodi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta yang sekarang sudah mendapat pekerjaan di bidang menulis. Masih berharap punya tekad untuk menulis lebih bebas di platform ini.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Mengenang Lazio sebagai Kuda Hitam Penjegal Para Raksasa

8 September 2023   08:45 Diperbarui: 8 September 2023   17:11 4643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skuad Lazio era 1990-an akhir sampai 2000-an awal (Sumber: IMAGO/ANP)

Ada masa ketika Serie A dari Italia merupakan salah satu liga sepak bola yang paling diminati dan banyak ditonton oleh masyarakat Indonesia. Ada era di mana Serie A mempunyai tujuh klub yang berpotensi memenangkan kompetisi sepak bola terbesar di Italia ini.
Mereka adalah Juventus, AC Milan, Internazionale, AS Roma, Lazio, Parma, dan Fiorentina. Ketujuh klub ini dikenal dengan sebutan “The Magnificent Seven”. Namun, dari tujuh nama yang pernah menjadi bagian dari sejarah emas Serie A, hanya ada tiga yang masih mampu mempertahankan kejayaannya.

Juventus adalah klub tersukses di Italia, dengan total 36 Scudetto, sebutan untuk gelar Serie A. Klub berjuluk Si Nyonya Tua ini bahkan mampu meraih 9 gelar berturut-turut mulai dari musim 2011/2012 sampai 2019/2020. Kesuksesan ini didapatkan usai mereka jatuh ke Serie B, kompetisi kelas 2 di Italia, akibat skandal pengaturan skor. 

Sementara rival Juventus dari Milan, yakni AC Milan dan Internazionale, masing-masing memperoleh 19 Scudetto. Sempat mengalami berbagai masalah mulai dari buruknya manajemen sampai kesulitan finansial di era 2010-an, keduanya perlahan bangkit dan siap bersaing di level tertinggi Serie A layaknya di masa lampau.

Bagaimana dengan sisa The Magnificent Seven lainnya? Sayangnya mereka sulit menyaingi kesuksesan Juventus, AC Milan, maupun Internazionale. Selepas keberhasilan AS Roma memperoleh Scudetto di musim 2000/2001, para anggota The Magnificent Seven mengalami penurunan pamor dan performa.

AS Roma konsisten berperan sebagai kuda hitam, namun gagal memperoleh gelar sejak itu. Sementara Fiorentina dan Lazio lebih banyak berkutat di papan tengah, sesekali membuat kejutan dengan mengalahkan tiga klub terkuat di Serie A. Parma bahkan lebih parah, lantaran mengalami kebangrutan pada 2015 dan harus turun ke liga terbawah di Italia, Serie D. Saat ini, mereka sudah berkompetisi di Serie B.

Tidak dapat dipungkiri kalau kejayaan mantan klub besar Serie A ini hanya dikenang oleh pendukung Serie A lawas yang sudah berumur. Mereka yang masih terlalu muda, belum tentu memahami betapa besarnya Serie A di masa lampau. Dan jika mengingat saja belum tentu bisa, mendukung klub-klub ini tentunya di luar pertanyaan. Meskipun begitu, jika ditelusuri lebih dalam, rupanya masih ada penggemar muda yang “sudi” mendukung klub-klub yang sudah melewati masa jayanya. Salah satunya adalah klub berjuluk “Elang Ibu Kota”, yakni SS Lazio.

Lazio Adalah Underdog Terbaik

Marcelo Salas, Diego Simeone, dan Juan Sebastian Veron merayakan gelar Coppa Italia musim 1999/2000 (Sumber: Calciomercato.com)
Marcelo Salas, Diego Simeone, dan Juan Sebastian Veron merayakan gelar Coppa Italia musim 1999/2000 (Sumber: Calciomercato.com)

Pada masanya, Lazio adalah salah satu klub yang banyak menarik perhatian penonton sepak bola dunia. Di bawah kepemimpinan Sergio Cragnotti, klub Elang Ibu Kota ini mampu menyaingi Juventus, AC Milan, dan Internazionale. Lazio menjadi salah satu klub yang disegani di Italia. Status kuda hitam ini rupanya menarik perhatian segelintir anak-anak yang baru menggemari sepak bola. Salah satunya adalah Aziz, pria yang saat ini sudah berusia 26 tahun. Dikatakan kalau dia sudah menjadikan Lazio sebagai klub favoritnya sekitar tahun 2007, kala Lazio berhasil masuk ke UEFA Champions League setelah 3 musim absen.

Berbeda dengan anak-anak sebayanya yang lebih banyak menyukai klub-klub besar dan ternama seperti Manchester United, Liverpool, atau Arsenal dari Inggris, Real Madrid atau Barcelona dari Spanyol, Bayern Munich dari Jerman, atau setidaknya AC Milan serta Internazionale jika ingin mendukung klub dari Italia, Aziz memilih Lazio karena usaha dan kerja keras mereka dalam menantang klub papan atas.

Di masa itu, Lazio tidak punya banyak pemain beken. Benar kalau ada beberapa pemain yang cukup dikenal tifosi Serie A kawas macam Cristian Ledesma, Tommaso Rocchi, atau Massimo Oddo. Namun, jika dibandingkan dengan nama-nama besar dari klub lain, ketiga nama ini tidak lebih populer. Namun, di luar dugaan, mereka berhasil finis di posisi ke-3, bahkan mengungguli AC Milan dengan perbedaan 1 poin. Penampilan Lazio di musim tersebut memikat hati Aziz kecil yang masih berusia 10 tahun. Semenjak itu, kecintaannya terhadap klub Elang Ibu Kota ini semakin mendalam.

“Gue menganggap Lazio dulu sebagai underdog yang dengan skuad seadanya, itu bisa menantang klub-klub gede di Serie A,” tutur Aziz, menceritakan awal mula kecintaannya terhadap Lazio. “Awalnya gue cuma sekadar suka doang. Abis itu makin lama gue cari lagi kayak ‘ini klub tuh punya prestasi nggak sih?’” sambungnya.

Aziz menemukan kalau rupanya, Lazio pernah menjadi salah satu kuda hitam terbaik di Eropa. Musim 1999/2000 adalah tahun yang paling berkilau dalam sejarah Lazio, di mana mereka mendapatkan tiga gelar berupa Scudetto, Coppa Italia, dan Piala Super Eropa.
Musim sebelumnya, mereka juga mampu menjuarai Piala Winners setelah mengalahkan Mallorca 2-1 di final. Klub Elang Ibu Kota ini menjadi juara terakhir di turnamen tersebut.

Penampilan Lazio di musim-musim tersebut memang di luar dugaan. Di bawah arahan pelatih asal Swedia, Sven Göran Eriksson, serta manajemen yang dipegang oleh Presiden Sergio Cragnotti, klub yang berdiri pada 9 Januari 1900 ini menjelma sebagai salah satu kekuatan besar dari Italia. Di masa itu, Lazio berisikan beberapa pemain legendaris seperti Juan Sebastian Veron, Sinisa Mihajlovic, Pavel Nedved, Roberto Mancini, Marcelo Salas, Diego Simeone, dan masih banyak lagi. Perpaduan antara pemain tua dan berpengalaman serta pesepak bola muda yang energik, mampu membawa Lazio meraih prestasi gemilang.

Konsisten Menjegal Papan Atas

Alessandro Nesta, Pavel Nedved, Hernan Crespo, dan Juan Sebastian Veron merayakan gol bersama (Sumber: Twitter/Football Remind)
Alessandro Nesta, Pavel Nedved, Hernan Crespo, dan Juan Sebastian Veron merayakan gol bersama (Sumber: Twitter/Football Remind)

Sayangnya, sekitar medio 2001-2002, kondisi finansial Lazio memburuk. Perlahan mereka ditinggal banyak pemainnya, terkhusus para pemain muda yang mencari klub yang lebih stabil. Di musim 2001/2002, Veron hijrah ke Manchester United dengan transfer 42,6 juta euro, sementara Nedved dan Salas diboyong Juventus, masing-masing dengan harga 45 juta euro dan 25 juta euro.

Kepergian para bintang mereka belum selesai sampai di sana. Hernan Crespo, penyerang Argentina yang sempat memecahkan rekor transfer Lazio kala diboyong pada musim 2000/2001 dengan harga 56,8 juta euro, juga dilepas ke Internazionale dengan harga 40 juta euro setelah 2 musim membela Elang Ibu Kota. Namun, yang paling menyakitkan adalah hijrahnya Nesta ke AC Milan pada musim yang sama dengan Crespo.

Nesta, yang saat itu sudah menjadi salah satu bek terbaik di Italia serta ikon klub, mengaku tidak ingin meninggalkan Lazio. Namun, dirinya merasa perlu meninggalkan klub yang sudah dibelanya sejak 1985 karena kondisi keuangan klub yang buruk. Kepergiannya bahkan sempat mengundang kecaman, sampai sosok dengan tinggi 187 cm ini dicap pengkhianat.Pada akhirnya, masih ada pemain lain yang meninggalkan Lazio karena berbagai alasan. 

Dan ini memang membuat Lazio tidak sekuat di masa keemasannya. Namun, apakah itu semua benar-benar menghapus status Elang Ibu Kota sebagai klub yang selalu menyulitkan klub papan atas? Tentu tidak. Saat mendalami sejarah klub, Aziz menemukan informasi menarik tentang seringnya Lazio menjadi batu sandungan yang menjegal klub besar di Serie A. Salah satu yang paling berkesan justru terjadi belum lama ketika Lazio kehilangan banyak pemain bintang mereka di musim 2001-2002.

Pada pertandingan terakhir Serie A, mereka menghadapi Internazionale yang berpotensi meraih Scudetto, andai saja mampu mengalahkan Elang Ibu Kota. Klub berjuluk Si Ular Besar ini akan berakhir dengan 72 poin, terpaut 1 poin dari Juventus, rival mereka, kalau Si Nyonya Tua menang melawan Udinese. Poin bisa berbeda jauh jika klub dengan baju bercorak hitam-putih ini imbang atau kalah.

Namun, Lazio justru tidak mau kandangnya menjadi saksi perayaan Internazionale. Si Elang Ibu Kota justru menghantam Si Ular Besar dengan skor 4-2, membuat mereka malah terjatuh ke posisi 3 klasemen di bawah Juventus dan AS Roma dengan raihan 69 poin. Si Nyonya Tua juga berhasil memperoleh Scudetto ke-26 mereka. Peristiwa ini tidak akan dilupakan Interisti, sebutan untuk fans Internazionale.

Kisah-kisah seperti inilah yang membuat Aziz bertahan mendukung Lazio. Sudah ada berbagai macam cerita mulai dari menggagalkan usaha SSC Napoli untuk tampil di Liga Champions di musim 2014/2015 sampai menghentikan rekor Juventus yang tidak pernah kalah di kandang setelah dua tahun pada musim 2017/2018, kisah-kisah ini menjadi memori manis bagi pria lulusan program studi Desain Grafis Politeknik Negeri Jakarta ini.

Kejutan-kejutan ini mungkin tidak membawa gelar apa-apa bagi Lazio. Tetapi, ada rasa bangga tersendiri melihat klub kesayangan yang notabene tidak memiliki skuad mentereng tapi mampu mengubur klub rival yang bisa dibilang lebih kualitas di atasnya. Ini seakan menjadi kemenangan tersendiri bagi Laziale. Lagi pula, tidak semua kisah kuda hitam ini hanya berupa menggagalkan ambisi klub besar saja. Ada masanya di mana Lazio mampu merengkuh trofi seperti Coppa Italia atau Supercoppa Italiana. Di era 2000-an, Elang Ibu kota meraih 5 Coppa Italia dan 4 Supercoppa Italiana. Dan semuanya diraih setelah melewati halangan klub-klub kuat.

Tempat Berkumpulnya Pemain Underdog

Miroslav Klose berselebrasi merayakan gol (Sumber: Transfermarkt)
Miroslav Klose berselebrasi merayakan gol (Sumber: Transfermarkt)

Memasuki periode 2010-an, Lazio sempat dilatih oleh beberapa pelatih kawakan macam Vladimir Petkovic dan Edoardo Reja. Meskipun tidak mendulang prestasi gemilang, keduanya mampu membawa Lazio bersaing dengan klub papan atas Serie A, masih sering menjadi batu sandungan bagi para penantang titel Scudetto.

Beberapa pemain seperti Hernanes, Antonio Candreva, Felipe Anderson, dan mungkin yang paling diingat, penyerang legendaris Jerman Miroslav Klose, datang di era tersebut. Mereka dikenal sebagai pemain yang kerap merepotkan tim lawan ketika membela Lazio. Hernanes dengan umpan ciamik dan tendangan jarak jauh, Candreva serta Anderson dengan kecepatan dan kemampuan olah bola, serta tentunya Klose yang mampu menyelesaikan peluang dengan baik. Meskipun begitu, tidak semua penggemar sepak bola mengetahui kemampuan punggawa Lazio ini.

Tidak menutup kemungkinan ada juga yang meremehkan mereka. Aziz ingat betul ketika Klose dianggap sudah terlalu uzur dan tidak akan membawa dampak besar bagi klub. Namun, pencetak gol terbanyak di Piala Dunia ini membungkam para peragu.  Lima musim di klub tersebut, Klose bermain sebanyak 169 kali, mencetak 61 gol dan 31 asis. 

Sang raja udara ini juga membantu Lazio memperoleh Coppa Italia ke-6 mereka di musim 2012/2013. Semakin spesial karena kemenangan diraih setelah melawan rival sekota, AS Roma di Stadion Olimpico. Kota Roma menjadi biru pada hari itu. “Waktu Klose dibeli Lazio, gue diledekin sama teman-teman, dibilang Klose udah tua, udah habis. Eh, nggak taunya dia terus nyetak gol,” kenang Aziz di masa remajanya. “Klose juga tampil lebih banyak lho dibanding dia di (Bayern) Munich atau (Werder) Bremen,” lanjutnya.

Sebagai perbandingan, Klose memang hanya tampil 150 kali di klub asal Bavaria tersebut dan 132 kali di Werder Bremen.
Meskipun Klose adalah pemain yang cukup dikenang, nyatanya Aziz punya dua nama yang justru melekat di kenangannya. Mereka adalah Goran Pandev dan Mauro Zarate. Mereka yang tidak menggemari Serie A mungkin tidak mengenal dua penyerang ini. Namun, Aziz dan tifosi lain ingat betul kebolehan mereka di Serie A.

Pandev bergabung di musim 2004/2005 dari Internazionale, sementara Zarate sempat dipinjam Lazio dari klub asal Qatar, Al-Sadd pada musim 2008/2009, sebelum akhirnya dipermanenkan satu musim setelahnya. Dan mereka hanya bermain bersama selama semusim lantaran Pandev kembali dibeli Si Ular Besar di musim di mana Zarate dipermanenkan. Meskipun begitu, bersama dengan Tomasso Rocchi, mereka membentuk trio penyerang yang cukup mematikan. Total ketiganya mencetak 31 gol, membawa Lazio menjuarai Coppa Italia dan meloloskan Elang Ibu Kota ke Liga Eropa kendati hanya finis di posisi 10 klasemen Serie A.

“Yang gue inget itu Rocchi di tengah, Pandev di kanan, trus Zarate di kiri. Pandev dulu lebih ke pengobrak-abrik pertahanan lawan gitu. Kalo Zarate dia bisa cari celah buat nendang bola dan masuk. Dulu finisher utamanya itu si Rocchi,” beber Aziz. Zarate sendiri mencetak 13 gol, sementara masing-masing Pandev dan Rocchi berhasil membuat 9 gol di musim itu.

Terus Terbang Lebih Tinggi

Luis Alberto, Ciro Immobile, dan Sergej Milinkovic Savic berlatih bersama (Sumber: Getty Images/Paulo Bruno)
Luis Alberto, Ciro Immobile, dan Sergej Milinkovic Savic berlatih bersama (Sumber: Getty Images/Paulo Bruno)

Semenjak ditangani legenda klub Simone Inzaghi pada musim 2016/2017, Lazio semakin menunjukkan bahwa mereka layak diperhitungkan di papan atas Serie A, tidak hanya menjadi penghibur papan tengah saja. Di bawah tangan dinginnya, Lazio meraih 1 Coppa Italia dan 2 Supercoppa Italiana. Inzaghi berhasil mengorbitkan serta memboyong beberapa pemain yang kini menjadi tulang punggung Lazio seperti Ciro Immobile, Luis Alberto, dan Adam Marusic yang masih bertahan, serta Joaquin Correa yang kini berada di Marseille serta Sergej Milinkovic Savic yang sudah hijrah ke Al-Hilal di Arab Saudi.

Sang legenda sendiri saat ini menangani Internazionale. Namun, warisan skuadnya dimanfaatkan dengan baik oleh penggantinya, yakni Maurizio Sarri. Selain mampu menjadi batu sandungan klub-klub papan atas, Lazio bahkan berhasil finis di posisi ke-2 di musim lalu di bawah Napoli, meskipun terpaut 16 poin dari pemuncak klasemen. Dengan demikian, musim ini mereka mendapat kesempatan tampil di Liga Champions. Lazio sendiri tergabung bersama dengan Atletico Madrid, Feyenoord, dan Glasgow Celtic di Grup E, grup yang notabene sulit diprediksi karena masing-masing kontestan punya kemampuan berimbang.

Sayangnya, Lazio mengalami start yang kurang bagus di awal musim 2023/2024, mengalami 2 kekalahan dan 1 kemenangan. Performa mereka nampak kurang meyakinkan. Meskipun begitu, Aziz mengaku tidak risau dengan keadaan mereka saat ini, mewajarkan permulaan yang kurang bagus bagi Elang Ibu Kota. “Lazio itu biasanya awal-awal emang agak lama startnya. Baru nanti biasanya pertengahan musim atau akhir musim ngebut. Musim lalu juga begitu, baru kenceng pas di akhir,” tutur Aziz. Menurutnya, sistem permainan Sarri membutuhkan waktu sebelum akhirnya bisa diterapkan dengan baik oleh pemain.

Dengan keadaan saat ini, Aziz berharap bahwa musim ini, Lazio bisa melaju jauh di Liga Champions, dan kembali membawa pulang Scudetto ke kota Roma. “Sekarang gue percaya Sarri bisa bawa Lazio jadi juara Serie A,” tutup Aziz. Tidak menutup kemungkinan juga Serie A bisa kembali ke puncak kejayaan di mana banyak klub yang berpeluang meraih Scudetto. The Magnificent Seven yang sempat menjadi salah satu kiblat sepak bola dunia, bisa terwujud kembali dengan meningkatnya kompetisi di Italia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun