Apa yang dilawan Wiji Thukul? Apa pula yang dilawan oleh SID? Wiji Thukul melawan kesewenangan Orde Baru. Dan ia hilang (dihilangkan) karena itu. Puisi-puisinya, terutama Peringatan, menggema tahun 1997-1998 meski puisi itu ditulis Thukul tahun 1986. Masa demo menuntut reformasi, potongan Peringatan menjadi slogan, poster, dan sebagainya. Sebagian tak tahu siapa penulisanya, tapi semangatnya hidup.
Apa yang dilawan SID? Kemapanan. Lihat lirik-liriknya.
Dari sinilah persoalan berubah arah. Wiji Thukul konsisten dengan semangatnya, ia melawan sampai ‘akhir,’ tak ada yang berubah, dan semangatnya tetap hidup. Sementara SID, apa boleh buat, kehilangan konsistensi. Bukan pada liriknya, tapi pada apa yang dilakukannya.
Belakangan, SID, terutama Jerinx (drummer) dikenal sebagai aktivis lingkungan. Ia getol menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Karena upayanya, dia diganjar penghargaan, dari Walhi, juga dari majalah Tempo, dua institusi bergengsi di negeri ini. Soal sikap, itu hak setiap orang untuk berbeda, menolak atau mendukung, sah-sah saja. Mengajak orang bergabung, sah juga. Sayangnya, SID, atau Jerinx, gagal memahami perbedaan itu. Sikap ‘melawan’ pada para pendukung reklamasi Teluk Benoa cenderung liar atau konfrontatif, memandang yang berbeda sebagai lawan yang harus ‘dihancurkan’ atau ‘dimusnahkan.’ Ini ironi, karena berbanding terbalik dengan lirik lagunya:
Bangun dunia dalam perbedaan
Jika satu tetap kuat kita bersinar
Harus percaya tak ada yang sempurna
Dan dunia kembali tertawa
(Kuat Kita Bersinar)
Saya setuju isi lirik lagu itu, 100%. Tapi kenapa, berbeda dengan sikap mereka menghadapi para pendukung revitalisasi Teluk Benoa, yang notabene adalah orang Bali juga –seperti saya. Jika kita bersatu, bukankah kita akan kuat, perbedaan pandangan bisa dimusyawarahkan, Bali akan makin bersinar jika kita bersatu. Soal kurang sana-sini, as you said; tak ada yang sempurna.
Atau, lirik lagu ini yang mereka anut: