Mohon tunggu...
Lyfe

SID: What Are You Fighting For?

21 September 2015   10:16 Diperbarui: 21 September 2015   10:40 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Musik adalah soal selera. Tak ada yang bisa memaksa dan tak bisa dipaksakan. Tapi selera bisa berubah, salah satunya karena berubahnya kebiasaan. Persis seperti makanan. Dulu saya tak suka rujak cingur yang khas Surabaya dan sekitarnya itu. Tapi tinggal sebulan di Jakarta, ngekos sebelah penjual nasi uduk Betawi yang salah satu menu utamanya adalah semur jengkol, entah kenapa, saya jadi terbiasa dengan jenis makanan itu. Kama kelamaan; doyan. Pulang kampung, jadi kangen semur jengkol, haha…

Zaman SMA, saya adalah seorang melankolis. Lagu-lagu yang saya suka adalah lagu-lagunya Nike Ardilla (almarhum), penyanyi cantik nan segar dari Tanah Pasundan. Setengah dari kawan sekolah, meledek habis. Saya malu. Lalu ikut-ikutan mendengarkan musik mereka; Metallica, guns N Roses, Sepultura dan sebagainya. Entah kenapa, hati nyangkut di Metallica. Lalu pada zaman segitu, mulai menyisihkan uang untuk beli kaset yang harganya setara uang SPP satu bulan.

Zaman kuliah, meski masih mengikuti Metallica sampai sekarang, selera meluas. Saya terkesan dengan sabuah band dari Bandung, Pas Band. Sebuah majalah remaja mengulas band itu yang memlilih jalur independen dan sukses di Bandung dengan membuat mini album, Four Through The Sap. Saya penasaran meski tak pernah mendengar satu pun dari lagu di dalam album itu. Sayang, saya tak pernah mendapatkan albumnya. 1995, band itu muncul di televisi dengan lagu Impresi yang enak buat loncat-loncat di kamar saat mendengarnya. Saya hunting lagi, dan dapat albumnya, In (No) Sensation yang sudah diterbitkan oleh sebuah mayor label. Dan setelah itu saya mengoleksi semua albumnya, dari IndieVduality yang masih kaset sampai Romantic.. Lies… Bleeding (2008) yang hanya nemu versi CD-nya. Four Through The Sap sendiri saya temukan belakangan, saat main ke Bandung, itupun versi yang sudah diterbitkan mayor label.

Jelang tahun 2000-an, dari kampung halaman, muncul sebuah band yang punya semangat sama dengan Pas Band, namanya Superman Is Dead (SID). Tapi saya sendiri baru ngeh saat mereka meluncurkan album tahun 2003 dengan satu hits, Kuta Rock City. Karena ‘citarasa’ daerah plus selera music yang sudah ‘masuk’ saya segera jatuh cinta. Mungkin terinspirasi kawan dari Bandung yang bangga dengan Pas Band yang mewakili kampung halamannya, saya pun bangga menyebut SID sebagai ‘saingannya.’ Soal lirik, menurut saya, SID lebih nendang ketimbang Pas yang belakangan banyak belok ke lagu cinta, terutama sejak di bawah mayor label. Mayoritas lagu SID berisi hal yang kusuka; perlawanan!

Hey kau yang terluka karena engkau berbeda

Jangan pernah menyerah menghancurkan kesedihan

Kita akan bersama, ayo lawan dunia

Injak kesombongan dan keangkuhannya

(Kita vs Mereka)

Berdiri tegak menantang

Tak pernah menyerah, tak mau mengalah

Beridri tegak menantang

Tak peduli setan, engkau kan kulawan

(Musuh dan Sahabat)

 

Yup, lagu-lagunya propagandik, membedakan ‘kita’ dengan ‘mereka.’ Dan ‘mereka’ harus dilawan. Menggunakan kata ‘lawan’ atau bernada ‘perlawanan’ mengingatkan saya pada penyair hilang Wiji Thukul yang terkenal dengan baitnya :

 

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

                                                   (Peringatan)

Apa yang dilawan Wiji Thukul? Apa pula yang dilawan oleh SID? Wiji Thukul melawan kesewenangan Orde Baru. Dan ia hilang (dihilangkan) karena itu. Puisi-puisinya, terutama Peringatan, menggema tahun 1997-1998 meski puisi itu ditulis Thukul tahun 1986. Masa demo menuntut reformasi, potongan Peringatan menjadi slogan, poster, dan sebagainya. Sebagian tak tahu siapa penulisanya, tapi semangatnya hidup.

Apa yang dilawan SID? Kemapanan. Lihat lirik-liriknya.

Dari sinilah persoalan berubah arah. Wiji Thukul konsisten dengan semangatnya, ia melawan sampai ‘akhir,’ tak ada yang berubah, dan semangatnya tetap hidup. Sementara SID, apa boleh buat, kehilangan konsistensi. Bukan pada liriknya, tapi pada apa yang dilakukannya.

Belakangan, SID, terutama Jerinx (drummer) dikenal sebagai aktivis lingkungan. Ia getol menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Karena upayanya, dia diganjar penghargaan, dari Walhi, juga dari majalah Tempo, dua institusi bergengsi di negeri ini. Soal sikap, itu hak setiap orang untuk berbeda, menolak atau mendukung, sah-sah saja. Mengajak orang bergabung, sah juga. Sayangnya, SID, atau Jerinx, gagal memahami perbedaan itu. Sikap ‘melawan’ pada para pendukung reklamasi Teluk Benoa cenderung liar atau konfrontatif, memandang yang berbeda sebagai lawan yang harus ‘dihancurkan’ atau ‘dimusnahkan.’ Ini ironi, karena berbanding terbalik dengan lirik lagunya:

Bangun dunia dalam perbedaan

Jika satu tetap kuat kita bersinar

Harus percaya tak ada yang sempurna

Dan dunia kembali tertawa

(Kuat Kita Bersinar)

Saya setuju isi lirik lagu itu, 100%. Tapi kenapa, berbeda dengan sikap mereka menghadapi para pendukung revitalisasi Teluk Benoa, yang notabene adalah orang Bali juga –seperti saya. Jika kita bersatu, bukankah kita akan kuat, perbedaan pandangan bisa dimusyawarahkan, Bali akan makin bersinar jika kita bersatu. Soal kurang sana-sini, as you said; tak ada yang sempurna.

Atau, lirik lagu ini yang mereka anut:

 

Jika kami bersama, nyalakan tanda bahaya

Jika kami berpesta, hening akan terpecah

Aku, dia dan mereka memang gila memang beda

Tak perlu berpura-pura, memang begini adanya

(Jika Kami Bersama)

Beda itu bukan kutukan. Tapi jangan asal beda. Beda harus punya rasionalitas. Saya beda dengan orang Amerika, karena saya orang Indonesia, orang Bali, yang juga beda dengan orang Jawa. Itu karena persoalan takdir. Tapi sebagai orang Bali dan membeda-bedakan dengan orang Bali lain, aneh rasanya, apalagi jika malah menyamakan diri dengan orang Barat, berperilaku Barat, dan seterusnya. Itu beda yang aneh, dan dipaksakan. Asal beda.

Oke, kita beda dalam hal itu. Tapi lebih aneh lagi, dalam perbedaan itu keberbedaan juga harus tetap ada. Misalnya saja, penggemar SID (outsiders dan Lady Rose) tak harus bertato kan? Penggemar SID tak harus bergaya pakaian ala SID kan? Tak perlu suka minum-minum kan? Juga, tak harus selalu sejalan dengan mereka, ikut menolak revitalisasi Teluk Benoa juga kan?

Jika mereka faham perbedaan, hargailah perbedaan –perbedaan itu. Semangat untuk melawan para ‘penindas’ punya versi masing-masing. Arung Palakka di Bone melawan penindasnya dari Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Hasanuddin, sementara Hasanuddin melawan penindasnya dari kaum Belanda. Tak adil jika kemudian memposisikan Hasanuddin sebagai pahlawan (gara-gara melawan Belanda) sementara Arung Palakka dianggap pengkhianat (karena melawan Gowa dengan meminta bantuan  Speelman yang dari Belanda). Arung Palakka dan Hasanuddin, sama-sama pahlawan, melawan penindasnya masing-masing, untuk konteks masa itu.

Pun jika yang dilawan SID adalah kemapanan, biarlah penggemarnya memiliki lawan kemapanannya masing-masing. Mungkin seperti halnya SID yang meluncurkan buku biografi ‘perlawanan’ mereka di atas kapal pesiar di Teluk Benoa, mungkin kapal pesiar itu bukan ‘kemapanan’ versi mereka! Jika masuk dalam mayor label bukan kemapanan versi mereka (sehingga tidak harus dilawan) itu sah juga. Jika mereka menganggap investor yang akan merevitalisasi Teluk Benoa itu adalah kemapanan, sehingga harus dilawan, silakan saja. Tapi antikemapanan kalian, mungkin kemapanan bagi orang lain yang harus dilawan!

Saya penggemar lagu-lagu SID, dan liriknya. Tapi biarlah saya beda. Tidak bertato, tidak memakai pakaian seperti kalian dan Outsiders lainnya. Dan yang terakhir, saya mendukung revitalisasi Teluk Benoa. Biarlah saya beda, seperti banyak orang lain yang juga beda. Kami juga punya lawan yang harus ditumbangkan, kehancuran Teluk Benoa, mata pencaharian sebagian dari kami yang juga terancam karena itu, dan seterusnya. Saya beda (jika kalian menghargai perbedaan). Bagi saya, Teluk Benoa harus diberesi, saya –mungkin banyak orang lain seperti saya—tak ingin membiarkan Teluk Benoa ‘mapan’ dengan situasinya sekarang, dangkal, kotor, dan tak lagi memberi penghidupan!

Untuk yang terakhir, itu bukan soal selera….

 

Nak Bali nawang melah agen Baline!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun