"Saya tidak punya yang kalian cari," jawabnya tenang.
"Bagaimana mungkin dia bisa hidup sampai sekarang padahal istrinya sendiri sakit lantas meninggal?"
"Pembohong!"
"Tas mojo!"
Anwar mencari-cari, matanya terpasung pada Pak Muji yang tengah memprovokasi warga. "Bukankah anda sendiri yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa menghindar dari kematian jika memang sudah waktunya?"
Pak Muji semakin geram. Ia maju menghantam Anwar, disusul tendangan dan gebukan dari kiri kanannya. "Sumber kematian itu sejak awal adalah orang ini! Cepat cari azimatnya!"
Warga bersorak, berpencar mencari tas mojo atau apapun yang terlihat seperti azimat. Aku memanggil-manggil Anwar, menyosor orang-orang biadab yang mengelilinginya. Sontak mereka menghajarku lebih bengis, dan aku hanya bisa mengamuk sembari mengibaskan sayap. Anwar berusaha melindungiku, amis darah mengucur deras dari kepala ke pelipis. Ia tidak akan sanggup bertahan lebih dari ini.
"Meri, maafkan aku. Mereka bukannya jahat, hanya belum bisa menerima kebenaran," bisik Anwar tersendat. Omong kosong!
Aku merasakan napas Anwar yang tadinya memburu, kini genap berhenti. Bersamaan dengan itu, warga kembali berkumpul dari pencariannya. Mereka saling menatap satu sama lain, dan tidak seorang pun yang membawa tas mojo.
***
MDJI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H