"Bukannya memang aneh dari dulu? Saya pernah ke rumahnya, mau minta tolong dibuatkan meja. Baru sampai teras rumah, dia sudah buka pintu. Nyuruh buang nomor togel di saku saya, padahal saya tidak pernah kasih tahu siapa-siapa soal nomor togel itu. Kayak dukun."
"Kelihatannya juga tidak mau menikah lagi. Padahal ada beberapa yang janda, di RT berapa itu, 9 ya?"
"RT 7 juga ada."
"Nah, itu."
"Katanya Bu Erma meninggal karena corona, bukannya Bu Erma memang punya asma dari dulu?"
"Pokoknya ngomongnya jadi melantur sejak Bu Erma meninggal, enggak usah diladeni."
Pembicaraan tersebut terus berlanjut hingga matahari tenggelam di ufuk barat. Aku pun kembali ke rumah, mendapati Anwar yang baru pulang. Wajahnya tampak lelah. Walau demikian, ia masih sempat menyiapkan sawi putih di mangkuk melamin oranye untukku. Seisi mangkuk tersebut lantas kulahap sampai tuntas. "Kamu kelaparan menungguku?" Â Anwar berjongkok, senyumnya yang teduh menghangatkan udara malam. "Semoga Tuhan memberkatimu."
Terang saja, dia keluar rumah pagi-pagi sekali untuk mendulang uang. Bekerja apa saja---mengamen, memperbaiki genteng bocor, mengarit rumput, kadang-kadang memulung. Dia itu orang yang paling serba-bisa, sekaligus yang paling tidak punya apa-apa. Karena Erma sudah tidak ada, uang hasil ia bekerja dibelikan bahan-bahan masakan. Hampir setiap dini hari aroma legit mengepul dari bilik dapurnya, kemudian makanan yang sudah dibungkus itu ia berikan kepada warga dusun. Anwar sendiri makan seadanya dari tanaman atau pohon di halaman rumah. Kangkung, daun melinjo, bayam, macam-macam.
Anwar sudah memberikan segala yang dia punya kepada warga, kepada dunia. Sepantasnya dia mendapatkan imbalan kebaikan yang berlipat ganda. Aku mengira demikian, tetapi ternyata aku keliru.
**
Dalam kurun waktu triwulan, angka kematian di dusun ini melonjak pesat. Sebagian besar meninggal akibat sesak napas. Hal itu menimbulkan kecemasan, ketakutan, bahkan depresi di kalangan warga. Â Prasangka dan gosip beredar dengan cepat.