Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tentang Guru dan Rasa Empati

8 Agustus 2019   16:13 Diperbarui: 8 Agustus 2019   16:30 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto-JM Purba, Kompasiana | kompasiana.com/agipurbatambunsaribu

Namanya Stefanus Benu (SB), seorang bocah 12 tahun di pedalaman Timor Tengah Selatan--NTT. Sejak kejadian pemukulan oleh seorang gurunya di sekolah pada penghujung Juli 2019, dua hari setelahnya Stefanus enggan ke sekolah. Ia takut. Kepalanya bengkak oleh pukulan sang wali kelas--Ferdanen Neonane (FN) di SD GMIT Oepliki, Kecamatan Noebeba, Kabupaten TTS. Anak ini mendapat hukuman fisik sang guru karena belum menyetor uang foto kopi materi sejumlah mata pelajaran sebesar Rp.190.000, (terasntt.com, 29/7/2019).

Sulit dipercaya, kisah di atas seperti penggalan fiksi tapi terjadi. Sedih, karena SB menderita atas pukulan sang guru, bukan karena ia tidak tahu baca tulis, tetapi pada sesuatu di luar kemampuannnya sebagai seorang anak.  

Anak seumuran Stefanus, ia tentu saja belum mengerti, tentang bagaimana daya dukung kemampuan finansial keluarganya untuk pendidikannya. Ia hanya tahu bersekolah dan bermain dengan ceria. Ada pihak yang bertanggung jawab soal itu, yaitu orangtua. 

Jika oknum guru itu mau untuk berpikir, maka orang pertama yang wajib ia "adili" adalah orang tua anak didiknya itu. Apa urgensinya melibatkan anak usia SD dalam urusan pembiayaan? Apa lagi dibumbui dengan kontak fisik, demi apa?

Cara sang cik gu dalam menangani kasus SB menunjukan beliau telah kehilangan empati pada anak asuhnya sendiri di sekolah. Jika memiliki sedikit saja kemampuan untuk memahami dan merasakan kondisi keterbatasan keuangan keluarga para siswa, maka peserta didik tidak akan menjadi obyek pelampiasan kemarahan guru. 

Panggil dan bicarakan dengan orang tuanya untuk menemukan solusi, sederhana. Pendekatan dialogis semacam ini akan menempatkan guru sebagai figur yang layak dicontoh sikap perilakunya, dan dijadikan sumber menimba  ilmu pengetahuan.  

Hukuman fisik dalam sejarah penyelenggaraan pendidikan di Indonesia memang bukanlah hal terlarang. Tetapi hingga kini, pola itu tetap debatable, terutama jika dikaitkan dengan sejumlah aturan perundangan seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.  

Di bidang pengajaran, hukuman fisik (mungkin) diperlukan dalam konteks dan kasus tertentu, dan dengan cara yang manusiawi. Dengan begitu, sekolah tetap menjadi tempat yang membahagiakan dan menyenangkan bagi semua warganya. Jangan lupa, soal kekerasan dalam ekosistem sekolah, peserta didik merupakan kelompok paling rentan. 

Di Indonesia pada 2018, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tercatat 445 kasus kekerasan pada anak di bidang pendidikan, dengan 228 diantaranya adalah kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh pendidik, kepala sekolah serta peserta didik, (voaindonesia.com, 27/12/2018).

Foto, dianakholil.blogspot.com
Foto, dianakholil.blogspot.com
Mencermati substansi hukuman FN kepada SB yang belum membayar uang foto kopi materi pelajaran,  muncul pertanyaan, mengapa otoritas sekolah tidak mengalokasikan dana BOS untuk membeli buku teks sebagai media belajar anak-anak?  

Sebagai informasi, pada jenjang SD, pemerintah menganggarkan dana BOS sebesar RP.800.000 per satu peserta didik setiap satu tahun. Ketentuan umum penggunaan dana BOS reguler sesuai Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019  tentang Juknis BOS Reguler Tahun 2019 jenjang SD, SMP, SMA, SMK, SDLB, SMPLB, SMALB, SLB  pada huruf D, dengan rinci diuraikan bahwa sekolah wajib menggunakan sebagian dana BOS reguler untuk membeli buku teks utama untuk pelajaran dan panduan guru sesuai dengan kurikulum yang digunakan di sekolah.    

Merujuk pada Permendikbud ini, mestinya SB dan semua peserta didik di sekolahnya tidak dipungut uang tambahan untuk pengadaan materi pelajaran dengan cara foto kopi, apa lagi sampai dipukul. 

Hak SB dan teman-temannya untuk mendapat layanan pendidikan yang baik, termasuk ketersediaan buku teks pelajaran di sekolah  telah dipenuhi pemerintah melalui anggaran dana BOS. Manajemen di sekolah bekerja mengelola dana tersebut sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

Jika tidak, kasus FN yang menghukum anak walinya SB harus menjadi otokritik yang sempurna bagi para pendidik. Guru tidak boleh menganggap sudut pandangnya yang paling benar, terutama ketika memberikan hukuman kepada peserta didik. 

Hukuman di sekolah memang diperlukan, tetapi harus memenuhi prinsip berkeadilan, karena ia berkaitan dengan wilayah kemanusiaan. Guru bekerja atas nama kemanuasiaan. Mendidik, membimbing, membagi ilmu, mengevaluasi,  itulah realisasainya dan semuanya harus mengandung nilai humanisme. Dengan demikian, guru tidak tampak seperti robot yang hanya melaksanakan seperangkat aturan. 

 Hukuman FN kepada SB hingga kepalanya bengkak karena belum membayar uang foto kopi jelas tidak mencerminkan pendidikan sebagai proses untuk mendidik otak (kognisi) dan hati (karakter). Maka, ungkapan educating mind without educating the heart is not education at all menjadi sangat kontekstual pada kasus wali kelas dengan peserta didiknya ini.

Tentang empati guru pada peserta didik maupun antar sesama peserta didik, kita harus belajar dari Denmark. Negeri Skandinavia nan makmur ini bahkan memasukan empati sebagai  pelajaran mandatori dalam kurikulum pendidikan formal sejak 1993. Sekali dalam seminggu, peserta didik usia 6-16 tahun  akan terlibat dalam diksusi tentang masalah belajar mereka. 

Di kelas, peserta didik bebas menyampaikan masalahanya, seluruh kelas termasuk guru menyimak lalu bersama mencari solusi. Jikapun tak ada masalah yang dibahas, maka seluruh kelas akan larut dalam sebuah tradisi Denmark, Hygge.  Sederhananya, itu adalah sebuah kebiasaan untuk orang saling merajut relasi sosial, membangun kedekatan emosional, menciptakan kehangatan persahabatan, saling berbagi, memberi dan menerima. 

Jadi,  Hygge  yang diterapkan di sekolah mendorong terciptanya perasaan empati bagi guru dan peserta didik. Pada skala luas, tradisi ini telah menjadikan Denmark berada di tiga besar negara dengan penduduk paling bahagia di dunia, sebagaimana laporan indeks kebahagiaan PBB  pada 2012, (morningfuture.com 26/4/2019).

Menjadi guru dengan kompetensi keilmuan yang bagus memang penting, tetapi memiliki guru yang cerdas, ramah dan  rendah hati untuk membantu siswa nyaman dan bahagia untuk belajar jauh lebih dibutuhkan.   Jika fakta kejadian yang diberitakan portal terasntt.com antara FN dan SB ini benar adanya, maka harus diakui, guru memang perlu memiliki rasa empati.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun