Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tentang Guru dan Rasa Empati

8 Agustus 2019   16:13 Diperbarui: 8 Agustus 2019   16:30 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto-JM Purba, Kompasiana | kompasiana.com/agipurbatambunsaribu

Merujuk pada Permendikbud ini, mestinya SB dan semua peserta didik di sekolahnya tidak dipungut uang tambahan untuk pengadaan materi pelajaran dengan cara foto kopi, apa lagi sampai dipukul. 

Hak SB dan teman-temannya untuk mendapat layanan pendidikan yang baik, termasuk ketersediaan buku teks pelajaran di sekolah  telah dipenuhi pemerintah melalui anggaran dana BOS. Manajemen di sekolah bekerja mengelola dana tersebut sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

Jika tidak, kasus FN yang menghukum anak walinya SB harus menjadi otokritik yang sempurna bagi para pendidik. Guru tidak boleh menganggap sudut pandangnya yang paling benar, terutama ketika memberikan hukuman kepada peserta didik. 

Hukuman di sekolah memang diperlukan, tetapi harus memenuhi prinsip berkeadilan, karena ia berkaitan dengan wilayah kemanusiaan. Guru bekerja atas nama kemanuasiaan. Mendidik, membimbing, membagi ilmu, mengevaluasi,  itulah realisasainya dan semuanya harus mengandung nilai humanisme. Dengan demikian, guru tidak tampak seperti robot yang hanya melaksanakan seperangkat aturan. 

 Hukuman FN kepada SB hingga kepalanya bengkak karena belum membayar uang foto kopi jelas tidak mencerminkan pendidikan sebagai proses untuk mendidik otak (kognisi) dan hati (karakter). Maka, ungkapan educating mind without educating the heart is not education at all menjadi sangat kontekstual pada kasus wali kelas dengan peserta didiknya ini.

Tentang empati guru pada peserta didik maupun antar sesama peserta didik, kita harus belajar dari Denmark. Negeri Skandinavia nan makmur ini bahkan memasukan empati sebagai  pelajaran mandatori dalam kurikulum pendidikan formal sejak 1993. Sekali dalam seminggu, peserta didik usia 6-16 tahun  akan terlibat dalam diksusi tentang masalah belajar mereka. 

Di kelas, peserta didik bebas menyampaikan masalahanya, seluruh kelas termasuk guru menyimak lalu bersama mencari solusi. Jikapun tak ada masalah yang dibahas, maka seluruh kelas akan larut dalam sebuah tradisi Denmark, Hygge.  Sederhananya, itu adalah sebuah kebiasaan untuk orang saling merajut relasi sosial, membangun kedekatan emosional, menciptakan kehangatan persahabatan, saling berbagi, memberi dan menerima. 

Jadi,  Hygge  yang diterapkan di sekolah mendorong terciptanya perasaan empati bagi guru dan peserta didik. Pada skala luas, tradisi ini telah menjadikan Denmark berada di tiga besar negara dengan penduduk paling bahagia di dunia, sebagaimana laporan indeks kebahagiaan PBB  pada 2012, (morningfuture.com 26/4/2019).

Menjadi guru dengan kompetensi keilmuan yang bagus memang penting, tetapi memiliki guru yang cerdas, ramah dan  rendah hati untuk membantu siswa nyaman dan bahagia untuk belajar jauh lebih dibutuhkan.   Jika fakta kejadian yang diberitakan portal terasntt.com antara FN dan SB ini benar adanya, maka harus diakui, guru memang perlu memiliki rasa empati.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun