Namanya Stefanus Benu (SB), seorang bocah 12 tahun di pedalaman Timor Tengah Selatan--NTT. Sejak kejadian pemukulan oleh seorang gurunya di sekolah pada penghujung Juli 2019, dua hari setelahnya Stefanus enggan ke sekolah. Ia takut. Kepalanya bengkak oleh pukulan sang wali kelas--Ferdanen Neonane (FN) di SD GMIT Oepliki, Kecamatan Noebeba, Kabupaten TTS. Anak ini mendapat hukuman fisik sang guru karena belum menyetor uang foto kopi materi sejumlah mata pelajaran sebesar Rp.190.000, (terasntt.com, 29/7/2019).
Sulit dipercaya, kisah di atas seperti penggalan fiksi tapi terjadi. Sedih, karena SB menderita atas pukulan sang guru, bukan karena ia tidak tahu baca tulis, tetapi pada sesuatu di luar kemampuannnya sebagai seorang anak. Â
Anak seumuran Stefanus, ia tentu saja belum mengerti, tentang bagaimana daya dukung kemampuan finansial keluarganya untuk pendidikannya. Ia hanya tahu bersekolah dan bermain dengan ceria. Ada pihak yang bertanggung jawab soal itu, yaitu orangtua.Â
Jika oknum guru itu mau untuk berpikir, maka orang pertama yang wajib ia "adili" adalah orang tua anak didiknya itu. Apa urgensinya melibatkan anak usia SD dalam urusan pembiayaan? Apa lagi dibumbui dengan kontak fisik, demi apa?
Cara sang cik gu dalam menangani kasus SB menunjukan beliau telah kehilangan empati pada anak asuhnya sendiri di sekolah. Jika memiliki sedikit saja kemampuan untuk memahami dan merasakan kondisi keterbatasan keuangan keluarga para siswa, maka peserta didik tidak akan menjadi obyek pelampiasan kemarahan guru.Â
Panggil dan bicarakan dengan orang tuanya untuk menemukan solusi, sederhana. Pendekatan dialogis semacam ini akan menempatkan guru sebagai figur yang layak dicontoh sikap perilakunya, dan dijadikan sumber menimba  ilmu pengetahuan. Â
Hukuman fisik dalam sejarah penyelenggaraan pendidikan di Indonesia memang bukanlah hal terlarang. Tetapi hingga kini, pola itu tetap debatable, terutama jika dikaitkan dengan sejumlah aturan perundangan seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Â
Di bidang pengajaran, hukuman fisik (mungkin) diperlukan dalam konteks dan kasus tertentu, dan dengan cara yang manusiawi. Dengan begitu, sekolah tetap menjadi tempat yang membahagiakan dan menyenangkan bagi semua warganya. Jangan lupa, soal kekerasan dalam ekosistem sekolah, peserta didik merupakan kelompok paling rentan.Â
Di Indonesia pada 2018, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tercatat 445 kasus kekerasan pada anak di bidang pendidikan, dengan 228 diantaranya adalah kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh pendidik, kepala sekolah serta peserta didik, (voaindonesia.com, 27/12/2018).
Sebagai informasi, pada jenjang SD, pemerintah menganggarkan dana BOS sebesar RP.800.000 per satu peserta didik setiap satu tahun. Ketentuan umum penggunaan dana BOS reguler sesuai Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 Â tentang Juknis BOS Reguler Tahun 2019 jenjang SD, SMP, SMA, SMK, SDLB, SMPLB, SMALB, SLB Â pada huruf D, dengan rinci diuraikan bahwa sekolah wajib menggunakan sebagian dana BOS reguler untuk membeli buku teks utama untuk pelajaran dan panduan guru sesuai dengan kurikulum yang digunakan di sekolah. Â Â