Mohon tunggu...
Surtam A Amin
Surtam A Amin Mohon Tunggu... Freelancer - Peminat budaya

Kualitas nalar lebih penting daripada kuantitas gelar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Demam

18 Maret 2020   22:54 Diperbarui: 20 Maret 2020   07:51 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PUKUL tujuh pagi. Aku masih bekumbus dalam selimut. Badanku menggigil sejak semalam membuat aku terkapar di tempat tidur. Mataku terbuka sedikit, ketika adikku melemparkan selembar koran pagi.

“Sudah mulai lagi,” kata adikku yang baru kelas dua SMP itu.

“Apanya yang mulai lagi?” tanyaku masih malas-malas.

“Baca sendiri. Aku mau pergi...” sahutnya terus berlalu.

Huruf-huruf besar bercetak tebal memenuhi sebagian halaman muka. Tubuhku makin gemetar ketika membaca nama salah satu tempat hiburan di kota ini. Di situ aku menurunkan penumpangku yang terakhir tadi malam.

Malam Minggu yang dingin. Pukul 23.15, hujan masih turun rintik-rintik. Aku menghentikan taksiku di depan seseorang. Air hujan yang tergenang di pinggir jalan Sudirman membersit ke betisnya. Tidak heran bagiku bila seorang wanita muda pada saat begini memanggilku dari tepi jalan. Ini sebuah kota Provinsi baru. Orang dapat bekerja setiap waktu. Banyak yang sengaja mengambil dinas malam, karena paginya dia bisa kuliah atau melakukan aktivitas lain.

“Antar aku ke...” dia menyebutkan nama tempat yang sangat terkenal di kota ini.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Sudah kuduga dari semula. Dia pasti akan ke tempat itu. Orang-orang bekopiah putih menyebutnya ‘tempat maksiat’. Orang-orang dahaga tapi berkantong tebal menyebutnya ‘nirwana’. Aku sendiri menamakannya ‘baby box’, karena setiap ke sana aku diperlakukan seperti ibu memperlakukan adikku sewaktu baru berumur tiga bulan.

Sejak masih di ruang depan, aku disuapi minuman berbusa oleh seorang gadis cantik, seperti ibu menyuapi botol dot pada adikku. Saat mataku mulai mengantuk dan aku ingin kencing, setengah digendong aku diantar ke sebuah kamar yang harum dan melegakan pikiran. Aku tertidur setelah menikmati sebuah dongeng yang melambungkan imajinasiku ke negeri kayangan. Dan menyeberangkan aku ke tengah samudera nan basah. Sampai pada saat aku perlu mandi, aku dimandikan oleh seorang ‘ibu’ muda penuh dedikasi dengan sabun wangi dan sentuhan-sentuhan jemari lembut di sekujur tubuhku. Semua ini mengingatkan aku pada ibuku, pada masa kecilku. Mungkin inilah sebabnya banyak pria yang sudah berusia lima puluhan tahun pun masih suka ke tempat itu. Sekadar untuk mengingat masa kecil barangkali. Bernostalgia!

“Anda biasa ke tempat itu?” tanyanya mengagetkan aku.

“Biasa. Eh, biasa lewat,” jawabku gugup. “Maksudku, aku sering mengantarkan teman-teman Mbak ke sana...”

“Teman-temanku?”

“Ehm. Gadis macam Mbak,” jelasku seraya mengedipkan sebelah mata. Dia mencibir. Sebagaimana biasa sikap para baby sitter yang bekerja di baby box itu pada awal pembicaraan.

“Tampaknya Mbak orang baru, ya?” tanyaku dengan memberikan tekanan khusus pada kata ‘orang’.

“Begitulah. Aku belum kenal tempat itu. Kalau Anda tidak keberatan, aku minta keterangan sedikit,” katanya sambil menggeser, merapat ke arahku.

Aku menelan ludah. Karena tepat pada saat aku menoleh ke arahnya, dia tengah menyilangkan kaki kirinya ke atas kaki kanannya.

“Tentu saja aku tidak keberatan. Kalau Mbak yang minta apa pun akan kuturuti,” kataku mulai mengatur strategi.

“Hm. Anda baik sekali. Sebelumnya aku ucapkan terima kasih,” ujarnya sambil melempar sesungging senyum.

Dari dalam tas sandang berwarna hitam dia menarik sebungkus rokok putih. Kemudian seperti membetulkan letak sesuatu di dalam tas itu. Paling-paling seperangkat alat rias, pikirku. Aku makin mengerti. Dugaanku tak mungkin meleset. Pasti dia...

“Rokok?” tawarnya tiba-tiba sambil menyodorkan sebungkus rokok yang telah tersembul dua batang. Aku menolak dengan sopan, karena aku tidak biasa merokok.

“Keterangan apa yang Mbak butuhkan?” tanyaku, sementara jari-jari tangan kiriku mulai berjuang melawan sepi.

Dia menarik napas. Kemudian menggigit bibirnya yang merah, seperti menahan suatu gejolak. Refleks aku menarik tanganku ketika api rokoknya mencium telunjukku. Dia minta maaf. Lalu membuang rokoknya.

“Siapa-siapa saja yang biasa masuk ke tempat itu? Dari kalangan mana?”

“Yah. Sebenarnya semua kalangan boleh masuk ke sana, asalkan punya uang. Tapi yang paling sering dan kebanyakan dari kalangan...” aku menjelaskan golongan masyarakat tertentu yang sering kulihat. “Maklumlah, kalau sopir taksi online sepertiku penghasilan sebulan belum tentu cukup untuk sekali masuk.”

Dia manggut-manggut, seperti memahami penjelasanku.

“Tapi Anda sering ke sana ‘kan?”

“Tidak. Cuma sekali-sekali. Refreshing!”

“Ehm. Tidak takut ada razia?”

“Ah. Mana ada yang berani razia? Yang ke sana itu punya sejuta alibi!”

“Masa?”

Aku mematikan mesin mobil. Masih kira-kira seratus meter dari tempat tujuan. Sesuatu hasrat telah mendesakku berbuat begitu.

“Kenapa?” dia bertanya tanpa curiga.

Aku tidak menjawab. Kutatap matanya yang terbuka setengah. Bibirku terasa kering menahan dahaga. Kemudian dengan gerak cepat aku... (maaf, harus disensor, walaupun di era kebebasan pers!). Aneh. Sama sekali dia tidak berontak. Tapi, alangkah terkejutnya aku, tatkala tanganku mulai merayap di balik roknya. Tanganku terasa dingin. Seperti tersentuh salah satu jenis logam. Sejenak sistem syarafku bagai terhenti berfungsi. Pelan-pelan kusingkap roknya...

Astaga!

Selusin peluru kaliber 3,2 melingkari pangkal pahanya. Kurasa wajahku kini sudah lebih pucat daripada wajah mayat yang sudah membeku.

Kubanting tubuhku ke belakang setir. Dia tersenyum, membuat aku makin getir. Sekarang aku sudah mengerti, siapa gerangan wanita ini. Aku tak bisa berbuat lain, kecuali memacu taksiku secepat mungkin. Ke mana saja! Tapi baru saja aku mau memutar kontak starter, terdengar suaranya pelan namun jelas mengandung perintah.

“Tunggu...” katanya sembari menodongkan ke arahku moncong pistol yang baru diambilnya dari dalam tas sandangnya berwarna hitam itu.

Seketika tubuhku gemetar. Menggigil, tepatnya. Bibirku bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu. Namun tak ada suara yang berhasil terucap. Tanpa disuruh akhirnya aku mengangkat kedua tanganku.

“Tidak perlu. Turunkan saja tanganmu,” perintahnya sambil merapikan pakaiannya yang sudah sangat kusut akibat kerajinan tanganku tadi.

Seperti orang bodoh, kuturunkan tanganku. Berulang-ulang aku menjerit dalam hati, menyeru nama Tuhan. Untunglah pada saat-saat seperti begini aku masih diberi hidayah untuk teringat pada nama Tuhan.

Setelah memasang kembali kedua kancing bajunya yang sempat terlepas dari lubangnya, dia membuka pintu mobil. Lalu berkata:

“Terima kasih atas bantuan Anda telah mengantarku ke sini. Juga atas informasi tadi. Serta atas...” dia mengerjapkan sebelah matanya sambil menjilat bibirnya yang sudah ngubas.

Tubuhku terasa mulai membeku.

“Awas. Jangan bilang siapa-siapa!” ancamnya kemudian sangat kejam. “Ini untuk bensin...” dia melemparkan dua lembaran warna merah ke atas jok.

“Mbak...” panggilku bermaksud mengembalikan kelebihan uangnya, ketika dia dengan cepat menghilang ditelan kepekatan malam.

Samar-samar masih kulihat goyang pinggulnya menuju baby box itu. Sejenak aku terpaku. Kemudian aku menyaksikan betapa diriku telah diserang demam. Sekujur tubuhku gemetar. Menggigil!

Kulempar koran itu ke lantai. Kepalaku kususupkan lebih dalam lagi ke dalam selimut. Sungguh, baru kali ini aku mengalami demam tanpa digigit nyamuk malaria. Tetapi peristiwa tadi malam telah menggigitku lebih tajam dan lebih dalam daripada gigitan seekor nyamuk anopheles. Apalagi setelah kubaca lead berita koran tadi:

“Dua orang pria gendut terjengkang di sebuah kamar tempat hiburan malam. Sebutir peluru kaliber 3,2 bersarang di kening masing-masing korban. Di sampingnya ditemukan puluhan butir pil psikotropika dan alat penghisap shabu-shabu. Di bawah perut masing-masing pria baya itu terlentang tubuh wanita muda tanpa busana dalam keadaan fly. Seorang tukang sate melihat seorang wanita yang baru turun dari taksi online, seratus meter dari tempat kejadian, menuju tempat itu kira-kira sepuluh menit sebelum peristiwa itu diketahui. Selembar kartu nama tercecer dari tas wanita itu, dengan tulisan: Miss CORONA...”

Pasti dia! Pikirku.

Aku makin menggigil. Dan akan terus menggigil, selama aku belum yakin bahwa aku bukan korban berikutnya.

Sungailiat, 18 Maret 2020

Keterangan:

  • bekumbus: menutup seluruh tubuh dengan selimut karena kedinginan.
  • ngubas: luntur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun