Astaga!
Selusin peluru kaliber 3,2 melingkari pangkal pahanya. Kurasa wajahku kini sudah lebih pucat daripada wajah mayat yang sudah membeku.
Kubanting tubuhku ke belakang setir. Dia tersenyum, membuat aku makin getir. Sekarang aku sudah mengerti, siapa gerangan wanita ini. Aku tak bisa berbuat lain, kecuali memacu taksiku secepat mungkin. Ke mana saja! Tapi baru saja aku mau memutar kontak starter, terdengar suaranya pelan namun jelas mengandung perintah.
“Tunggu...” katanya sembari menodongkan ke arahku moncong pistol yang baru diambilnya dari dalam tas sandangnya berwarna hitam itu.
Seketika tubuhku gemetar. Menggigil, tepatnya. Bibirku bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu. Namun tak ada suara yang berhasil terucap. Tanpa disuruh akhirnya aku mengangkat kedua tanganku.
“Tidak perlu. Turunkan saja tanganmu,” perintahnya sambil merapikan pakaiannya yang sudah sangat kusut akibat kerajinan tanganku tadi.
Seperti orang bodoh, kuturunkan tanganku. Berulang-ulang aku menjerit dalam hati, menyeru nama Tuhan. Untunglah pada saat-saat seperti begini aku masih diberi hidayah untuk teringat pada nama Tuhan.
Setelah memasang kembali kedua kancing bajunya yang sempat terlepas dari lubangnya, dia membuka pintu mobil. Lalu berkata:
“Terima kasih atas bantuan Anda telah mengantarku ke sini. Juga atas informasi tadi. Serta atas...” dia mengerjapkan sebelah matanya sambil menjilat bibirnya yang sudah ngubas.
Tubuhku terasa mulai membeku.
“Awas. Jangan bilang siapa-siapa!” ancamnya kemudian sangat kejam. “Ini untuk bensin...” dia melemparkan dua lembaran warna merah ke atas jok.