“Siapa-siapa saja yang biasa masuk ke tempat itu? Dari kalangan mana?”
“Yah. Sebenarnya semua kalangan boleh masuk ke sana, asalkan punya uang. Tapi yang paling sering dan kebanyakan dari kalangan...” aku menjelaskan golongan masyarakat tertentu yang sering kulihat. “Maklumlah, kalau sopir taksi online sepertiku penghasilan sebulan belum tentu cukup untuk sekali masuk.”
Dia manggut-manggut, seperti memahami penjelasanku.
“Tapi Anda sering ke sana ‘kan?”
“Tidak. Cuma sekali-sekali. Refreshing!”
“Ehm. Tidak takut ada razia?”
“Ah. Mana ada yang berani razia? Yang ke sana itu punya sejuta alibi!”
“Masa?”
Aku mematikan mesin mobil. Masih kira-kira seratus meter dari tempat tujuan. Sesuatu hasrat telah mendesakku berbuat begitu.
“Kenapa?” dia bertanya tanpa curiga.
Aku tidak menjawab. Kutatap matanya yang terbuka setengah. Bibirku terasa kering menahan dahaga. Kemudian dengan gerak cepat aku... (maaf, harus disensor, walaupun di era kebebasan pers!). Aneh. Sama sekali dia tidak berontak. Tapi, alangkah terkejutnya aku, tatkala tanganku mulai merayap di balik roknya. Tanganku terasa dingin. Seperti tersentuh salah satu jenis logam. Sejenak sistem syarafku bagai terhenti berfungsi. Pelan-pelan kusingkap roknya...