“Teman-temanku?”
“Ehm. Gadis macam Mbak,” jelasku seraya mengedipkan sebelah mata. Dia mencibir. Sebagaimana biasa sikap para baby sitter yang bekerja di baby box itu pada awal pembicaraan.
“Tampaknya Mbak orang baru, ya?” tanyaku dengan memberikan tekanan khusus pada kata ‘orang’.
“Begitulah. Aku belum kenal tempat itu. Kalau Anda tidak keberatan, aku minta keterangan sedikit,” katanya sambil menggeser, merapat ke arahku.
Aku menelan ludah. Karena tepat pada saat aku menoleh ke arahnya, dia tengah menyilangkan kaki kirinya ke atas kaki kanannya.
“Tentu saja aku tidak keberatan. Kalau Mbak yang minta apa pun akan kuturuti,” kataku mulai mengatur strategi.
“Hm. Anda baik sekali. Sebelumnya aku ucapkan terima kasih,” ujarnya sambil melempar sesungging senyum.
Dari dalam tas sandang berwarna hitam dia menarik sebungkus rokok putih. Kemudian seperti membetulkan letak sesuatu di dalam tas itu. Paling-paling seperangkat alat rias, pikirku. Aku makin mengerti. Dugaanku tak mungkin meleset. Pasti dia...
“Rokok?” tawarnya tiba-tiba sambil menyodorkan sebungkus rokok yang telah tersembul dua batang. Aku menolak dengan sopan, karena aku tidak biasa merokok.
“Keterangan apa yang Mbak butuhkan?” tanyaku, sementara jari-jari tangan kiriku mulai berjuang melawan sepi.
Dia menarik napas. Kemudian menggigit bibirnya yang merah, seperti menahan suatu gejolak. Refleks aku menarik tanganku ketika api rokoknya mencium telunjukku. Dia minta maaf. Lalu membuang rokoknya.