Mohon tunggu...
Ganda M Sihite
Ganda M Sihite Mohon Tunggu... Lainnya - Ingat lah pencipta mu dimasa mudamu

Research Human Right, Peace and Conflict Resolution, National Security

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan featured

BPJS di antara Ketidakmampuan dan Sanksi

12 November 2019   01:27 Diperbarui: 14 Mei 2020   09:35 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ANTARA FOTO/M. RISYAL HIDAYAT)

Sejak proklamasi Indonesia hingga sekarang, pembangun terus digencar hingga ke berbagai lini setor kehidupan manusia. Tujuan pembangunan dimaksudkan untuk terciptanya kehidupan warga negara yang adil, makmur dan sejahtera, sebagaimana tertuang pada tujuan bernegara yaitu secara konstitusional.

Pada pembukaan alinea ke-4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Dalam konteks tersebut, maka negara harus hadir memberikan kepastian akan jaminan kepada seluruh warga negara. Hal tersebut juga diperkuat dengan ideologi pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara pada sila k- V yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan yang dimaksud adalah bahwa seluruh warga negara mendapakkan hak yang sama dengan berpegang pada prinsip sama rasa sama rata. Dengan begitu maka tujuan bernegara tersebut dapat diwujudkan.

Namun realita menunjukkan bahwa dalam perjalanan bangsa Indonesia sejak memproklamasikan kemerdekaan masih jauh dari cita-cita yang dicapai.

Ketimpangan sosial dan ekonomi menjadi suatu problem yang hingga hari ini masih jadi perdebatan untuk setiap perjalanan para pemimpinnya baik di daerah dan pusat. Bukan hanya terjadi pada satau atau dua sektor melainkan terjadi hampir merambat ke seluruh sektor kehidupan warga negara Indonesia. 

Akibatnya kemiskinan, kriminal, kesehatan, pendidikan, pangan, dan lain-lain menjadi permasalahan yang belum ada obatnya sampai saat ini terutama terhadap para warga negara Indonesia yang tergolong pada kaum marjinal yang setiap saat tertindas oleh sistem. 

Kebijkan-kebijakan yang timbul dari penguasa selalu mencekam masyarakat kelas bawah dan menguntung kelas menengah ke atas dan elite-elite yang bercokol dengan panggung kekuasaan hari ini.

Kedaulatan yang katanya berada di tangan rakyat bukan lagi fakta namun hanya slogan. Karena realitanya kedaulatan itu berada di tangan para pemilik modal. 

Jika berkaca kepada hal demikian tidak salah jika mengutip pemikiran Karl Marx tentang teori kelas, bahwa sejarah dari segala bentuk masyarakat dari dahulu hingga sekarang adalah sejarah pertikaian antara golongan.

Artinya di sini bahwa hubungan antara manusia terjadi dilihat dari hubungan antara posisi masing-masing dengan sarana-sarana produksi, yaitu dalam hal memanfaatkan sumber-sumber daya alam dan langka. 

Realitanya hal itu menjadi pembicaraan hangat dari dulu hingga sekarang bahwa kehidupan manusia melekat pada struktur kelas yang berorientasi pada ekonomi dan pemanfaatan sumber daya alam. Sehingga manusia yang tidak mampu menjadi sasaran penindasan oleh manusia yang lainnya.

Berangkat dari hal tersebut, problem Indonesia tidak berhenti-berhentinya selalu menyasar kepada kelompok masyarakat menengah ke bawah dan termarjinalkan.

Tujuan untuk memberikan jaminan dan kepastian kepada warga negara sebagaimana dengan amanat UUD 1945 terkesan diabaikan pemerintah. Seperti halnya saat ini yang menjadi pokok pembahasan yang menarik adalah terkait dengan kepastian jaminan akan kesehatan terhadap warga negara Indonesia. 

Namun alangkah diketahui sejak awal bahwa tak ada satupun dalil yang membenarkan bahwa adanya keinginan manusia untuk sakit atau tidak sehat. Tapi dalam berbagai faktor bahwa cenderung kesehatan terhadap manusia tidak ada yang stabil. 

Maka dari itu problem kesehatan menjadi salah satu aspek pembangunan terhadap sumber daya manusia agar terciptanya negara yang maju dengan kualitas sumber daya manusia yang ungul. 

Dalam memperoleh jaminan kesehatan yang layak dan memberikan perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka proyeksi pemerintah sebagai alat negara menghadirkan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan sosial yang dinamakan dengan JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional yang dituangkan dalam bentuk BPJS Kesehatan.

Keberadaan Jaminan Sosial tersebut merupakan amanat dari pasal 28 ayat 3 mengenai hak terhadap jaminan sosial dan pasal 34 ayat 2 UUD 1945.

Juga tertuangan dalam deklarasi PBB tentang HAM pada tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja.

Sejalan dengan ketentuan tersebut, MPR RI dalam TAP No X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.

Kenaikan Tarif BPJS
Kehadiran BPJS yang dinilai dapat memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan terhadap warga negara Indonesia. Dan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan maka pemerintah melakukan penyesuaian regulasi dalam ketentuan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan yang ditandai dengan disahkan nya Perpres No.75 tahun 2019.

Maka dengan adanya ketentuan tersebut dimaksudkan bahwa iuran BPJS untuk para pengguna naik dengan besaran tertentu. Seperti diketahui bahwa besaran kenaikan iuran tersebut didasarkan sesuai dengan kelasnya. Iuran mandiri kelas III dari Rp. 25.500 per bulan menjadi Rp. 42.000, Kelas II dari Rp. 51.000 menjadi Rp.110.000 dan kelas I dari Rp. 80.000 menjadi Rp. 160.000. 

Dengan besaran iuran tersebut pemerintah menilai dapat meningkatkan kualitas dan kesinambungan akan jaminan kesehatan terhadap seluruh warga negara Indonesia. Dengan adanya penaikan iuran tersebut rakyat dikira mendapatkan kualitas yang lebih baik dibanding yang sebelumnya.

Namun faktanya timbul reaksi pro-kontra dari berbagai kalangan akan besaran kenaikan iuran BPJS tersebut. Yang kerap kali dinilai memberatkan peserta BPJS Kesehatan.

Ketidakmampuan dan Sanksi
Kenaikan iuran BPJS menimbulkan polemik dalam masyarakat. Hal  ini dinilai karena kenaikan tersebut tidak tepat karena mengingat kondisi perekonomian yang saat ini sedang sulit. Kenaikan yang terjadi mendalilkan akan kesanggupan atau kemampuan untuk membayarkan iuran. 

Padahal sebelum iuran naik fasilitas dan kualitas yang didapat oleh masyarakat tidak sebanding untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Realitanya menunjukkan bahwa dibeberapa Rumah Sakit, polemik BPJS kerap terjadi dan terkadang pihak rumah sakit tebang pilih dalam memberikan kepastian kesehatan kepada masyarakat.

Jika diperhatikan kembali kenaikan iuran BPJS adalah suatu hal yang jauh dari Tujuan bernegara sebagaimana dalam pembukaan alinea ke-4 UUD 1945. Kenaikan Iuran BPJS tersebut justru akan semakin mempersulit keadaan ekonomi rakyat ditengah keadaan perekonomian nasional yang sedang hancur-hancurnya.

Ditambah lagi adanya wacana pemerintah memberikan sanki kepada para pengguna BPJS yang menunggak pembayaran iuran premi BPJS. Dengan adanya kebijakan untuk memberikan sanksi berat kepada penunggak BPJS ini adalah bentuk penindasan terhadap warga negaranya sendiri.

Seharusnya fasilitas dan jaminan kesehatan itu gratis dan tidak berbayar, tetapi kebijakan ini justru akan memberatkan rakyat ditambah dengan sanksi yang akan dikenakan.

Pemerintah dalam hal ini harus mencermati kembali sanksi yang akan dijatuhkan kepada para penunggak BPJS. Karena adanya penunggakan dikarenakan faktor ketidakmampuan untuk membayar iuran premi.

Bisa dibayangkan apabila dalam satu keluarga terdapat 4 pemegang  BPJS sedangkan pendapatan dan kondisi ekonomi jauh di bawah rata-rata dan kesanggupan membayar iuran dengan kenaikan besaran tersebut akan semakin memperumit keadaan, ditambah adanya sanksi. Yang akibatnya malah menimbulkan kondisi masyarakat yang jauh dari kata sejahtera dan sulit akan mendapatkan jaminan kesehatan.

Tentu kebijakan pemerintah dengan menaikkan iuran dan memberi sanksi akan menimbulkan polemik, ditambah dengan semakin jauhnya dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tertuang dalam sila ke-5 pancasila. Pemerintah jangan melebihkan narasi akan kenaikan iuran BPJS di tengah kondisi perekonomian yang sedang tidak sehat hari ini.

Jaminan kesehatan itu seharusnya gratis bukan berbayar. Karena apabila berbayar sama saja dengan rakyat membayar pajak kesehatan yang apabila menunggak kena sanksi. Terutama dalam realita menunjukkan bahwa kualitas pelayanan sebelum dinaikkan masih jauh dari harapan.

Maka Pemerintah harus memberikan solusi yang tepat tanpa merugikan rakyat, guna terciptanya tujuan bernegara yang adil dan makmur dan sebagaimana juga dengan cita-cita proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945. Sehingga tidak adanya lagi dilema terhadap rakyat Indonesia antara kesanggupan dan sanksi.

Rakyat sudah susah jangan disusahkan lagi. Keadilan akan kesejahteraan lebih penting dibanding kepentingan elite dan para kaum pemodal atau kapitalis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun