Aku meneguk secangkir teh hangat dan menikmati gerimis senja yang perlahan menyeruakkan bau basah.Aku menarik nafas panjangsetelah bergelimang pada kenangancinta yang tak pernah sampai. Kepada senja, aku menutupsebuah kisah lalu yang terpendam di hati. Gerimis yang pecah di bebatuan menghantar kisah ini…
Oh senja, dengarlah rahasia hatiku,aku letih membawanya, hatiku bungkuk dan lelah, sekiranya dulu aku tergoda mengutarakan cintaku padanya… aku mungkin tak secuil ini. Mengapa dulu kau tak merayu ?
Cinta, rindu yang merahasia dalam hatiku sekian lama, sesuatu yang tak sanggup aku kemukakan, aku sembunyikan dengan sangat rapi pada lipatan –lipatan awan. Manakala senja meranum, hatiku diliputi kerinduan yang gelisah. Saat dulu, kami selalu menyaksikan mentari beranjak menuju malam, menyanyikan kidung-kidung yang sunyiseperti bibir kami yang terus membisu. Padahal hati kami gemuruh penuh cinta, tatapan kamikerap bersembunyidibalik lirik sudut mata kami, saling mencari.
Dia tak pernah menyatakan cinta dan aku tak memilki keberanian untuk memulai. Betapa pentingnya sebuah kata , untuk memprasastikandiri kami sebagai sepasang kekasih yang memformat asa menuju masa depan, dimana kami saling menguatkan sebagai sepasang merpati yang tak pernah ingkar janji. Saling memagut kerinduan.
Meski awan tak dapat mengambil kembali hujan, kenangan tentang dirinya tak mudah begitu saja kuhapus dalam hatiku walau kami telah, pun tanpa kata mulai saling berjarak. Cinta adalah kelelahan hasrat yang terus menakar-nakar rasa gelisah dan akhirnya kami menyerah dan meninggalkan sebuah rahasia yang tak terpecahkan, menjadi hantu dalam langkah-langkahku ke depan, melukis dalam mimpiku saat rindu mendera.
Mimpiku, rinduku selalu tentang kami dulu…
Sejak pertama kali bersua dengannya , darahku berdesir, jantungku berirama seperti dendang Kopi Dangdut ; ngebit, cepat dan menggemaskan. Seperti permen Nano-Nano… manis, asam, asin, ramai rasanya.
Melewati hari bersamanya adalah saat-saat paling indah dalam hidupku. Aku sedemikian gelisah jika tak jumpa dengannya. Dia seperti sinar rembulan yang sinarnya menerangi senyumku, dia seperti awan biru cerah mengiringi langkahku, dia seperti lagu yang berdendang penghantar tidurku dan dia seperti doa yang berharap dalam gelisahku. Aku hanya gadis yang sunyi, yang ceria jika bersamanya.
Seiring waktu, kami akhirnya lelah membisu. Lelah mengusung persahabatan, begitu selalu kami artikan hubungan itu, padahal dalam dada kami ada gemuruh terpendam. Aku tahu dari sinar matanya yang memantul diretinaku, aku tahu fibra di hatinya bergelombang menyetrum jantungku. Tapi mengapa kami gagu layaknya seorang bisu. Apakah ada rumus baru bahwa cinta membuat orang tiba-tiba terdiam gagu , kaku dan layu...?
Sebenarnya, ada satu hal yang membuat aku ragu dan takut , yakni kecewa. Beberapa gadis-gadis cantik disekelilingnya.Menurut naluri dan nalarku mereka sama jatuh cinta padanya, kekasih dalam hatiku, bunga mimpiku. Berhubung wajahku pas-pasan cenderung manis kayak kue lapis tapi aku hanya gadis yang sunyi , yang tak tahu bagaimana mengekspresikan cinta.
Satu-satunya jalan keluar yang aman dari memendam rasa yang tidak enak ini adalah membunuh cinta. Yahh aku harus memenjarakannya, menjinakkannya dan menidurkannya dalam kematian dengan nisan yang bertuliskan “Cinta Tak Harus Memiliki “. Begitu gegap gempitanya tekadku. Tapi kok nyess yah…duuh !
Aku tak ingin lagi terperangkap dengan rasa yang tak karu-karuan ini. Rasa yang tak jelas sahabat atau kekasih. Mengaku sahabat tapi hatinya kekasih. Merasa kekasih tapi kok tidak mengaku sih !
Dan waktu benar-benar berlalu dengan misterius dan janggal. Serta takdir yang tak pernah tuntas. Seperti menggantung kerinduan di langit yang tak bertepi, sewaktu-waktu turun ke bumi lewat mimpi dan mengendap lewat sekat-sekat yang bisu. Tapi seperti perjumpaan yang nyata, mimpi itu bicara- “aku bahagia bersua denganmu di sini, di mimpi ini”. Pada ruang jaga, kutemukan pipiku merona dan dadaku membuncah bahagia.
Di senja yang ranum, kudapati sampul coklat dengan stempel cap pos tergelatak di meja rias kamarku. Sampul coklat berisi undangan pernikahan, dibalik undangan ada tulisan
“ Telah kutemukan oase cintaku “ .
Aku menangis, aku menyesal.Akulah oase cintamu sekiranya dulu, lidah kita tidak keluh. Sekiranya kita memilki sedikit saja keberanian.
Kekeliruan terbesar dalam hidupku adalah aku bersembunyi dari cinta, aku memenjarakanya kemudian aku membunuhnya, olehnya ia menjadi hantu yang gentayangan dalam hatiku. Apakah aku berjenis kelamin perempuan, cinta tak akan tertawa jika aku mengemukakannya lebih dulu, bisa jadi dia akan berterimakasih dan menyambut dengan riang hati.
Pada senja aku menatap , pada senja telah kuungkapkan segala rahasia hatiku tentang aku dan dia . Aku rela kehilangan wajahnya dalam mimpiku, dan aku tak lagi berharap dia jatuh dalam mimpiku. Nanti jika kami bersua diusia yang mungkin senja, pada gerimis yang juga senja, dan pita suara kami bergetar karena menuai senja, aku pasti menyapadia “apa kabar ”. dengan senyum secerah senja yang merah saga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H