Memet memandangi kain kafan. Hatinya masih terasa panas mengingat percakapan dengan teman-temannya, MANTAN teman-temannya.
“Ah, cemen elu Met.”
Lihat jutaan umat berkumpul tanggal 4 November yang lalu, semua bersatu padu saling mendukung demi membela agama, membela kitab suci, membela ulama, membela nabi.
“Oh sungguh bulu kudukku berdiri, setiap aku mendengar takbir dari mulut jutaan umat pendemo”
“Demi – demo, demi – demo. Emangnya elo kagak ada kerjaan lain ya. “Saya mesti kerja tauk, mana bisa ikut demo!” bantah Memet.
“Ini lebih penting dari pada kerja Met, ini urusan hidup dan mati, surga dan neraka.”
“Halah, buat saya kasih makan anak istri lebih penting bos.”
“Met…., Met. Kalau agamamu dinista engkau diam saja, kau sudah kehilangan ghirah, Met.”
“Ghirah-Ghiroh, apanya sih yang dinista? Wong Ahok cuma bilang orang bisa menipu PAKAI ayat suci, apa salahnya sih.”
“Puih, elo kalau gak mau ikut demo ya sudah tapi gak usah ikutan ngebela orang yang menista ayat suci”
“Kalau gitu elo sama saja dengan si kapir. Elo mendingan pakai kain kafan saja”
Pernyataan tersebut mengakhiri debat Memet dengan teman-temannya. Memet tidak peduli kalau teman-temannya meng-unfriend nya, sampai ia dikirimi paket oleh teman-temannya. Betapa kagetnya setelah dibuka ternyata isinya kain kafan.
"Ini sama saja nyumpahin gue biar cepat mati. Sialan elu semua." bathin Memet.
Namun dalam hatinya, Memet mulai ragu apakah betul dia sudah kehilangan ghirah.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 malam lewat namun Memet belum bisa memejamkan mata. Laptop masih menyala walaupun matanya sudah sepet minta istirahat. Namun masih banyak pekerjaan kantor hari itu yang belum terselesaikan. Ia berniat menyelesaikan proyeknya, karena besok tanggal 14 November katanya ada supermoon, peristiwa yang belum tentu bisa disaksikan lagi selama sisa hidupnya, Memet bertekad menyaksikan fenomena alam langka ini bersama istri dan anaknya. Ia berdoa supaya cuaca cerah. Untuk menghalau kantuk dan mumet, Memet menyalakan TV, dan mencari saluran berita. Berita tadi siang membuatnya tercengang.
Api yang besar menghanguskan daging balita di rumah Ibadah,
Lama ia tak bisa berkata-kata hanya termenung di depan TV.
Tiba-tiba, badannya terasa sangat sakit, sekujur tubuhnya pegal-pegal dan kaku.Betapa kagetnya Memet ketika menyadari kain kafan hadiah teman-temannya sudah melilit di tubuh Memet. Memet tercekik dan tidak bisa bernafas. Ia meronta mencoba membebaskan diri namun kain kafan itu semakin erat melilitnya. Mungkin teman-temannya benar, Memet telah kehilangan ghirah maka sekarang kain kafanlah yang paling cocok buatnya. Memet pasrah, ia tidak lagi meronta, sebelum kesadaran hilang Memet menangis, ia menangis karena tidak bisa menyaksikan supermoon bersama istri dan anaknya. Ia sesegukan dan ubuhnya teguncang-guncang dengan hebat …..
“Mas, bangun mas!” Tubuh Memet diguncang keras oleh istrinya.
Memet terbangun dengan kagetnya, tubuhnya basah bercucuran keringat, ternyata ia jatuh tertidur dan bermimpi dililit kain kafan, ia begidik.
Ia tidak bisa tidur kembali.
***
Siangnya di kantor ia merasa ngatuk karena kurang istirahat kemarin. Tapi kesibukan hari Senin membuatnya tidak punya banyak waktu untuk memikirkan mimpi semalam. Ia hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya secepatnya supaya bisa pulang cepat. Saat makan siang Memet menyempatkan diri mencari berita perkembangan Bom Samarinda. Bom yang menghanguskan anak-anak membekas didalam hati bagaikan stempel bara yang menandai ternak. Ia mendapatkan bahwa salah satu balita korban ledakan bom Molotov akhirnya meninggal, karena luka yang dideritanya terlalu berat untuk ditanggung tubuhnya yang mungil. Intan dan kawan-kawanya tidak sempat menyaksikan Supermoon.
Ia tercenung
Matanya nanar. Perih.
Air matanya mengalir, semakin deras.
Badannya terguncang sesegukan
***
Malam itu diteras rumahnya bersama istri dan putrinya, Memet menyaksikan supermoon begitu indah. Dan bersyukur kepada Tuhan karena langit cerah. Setelah istri dan putrinya mengantuk dan masuk ke kamar untuk tidur. Memet menyalakan sebatang lilin. ia memandang liuk-liuk lilin diterpa angin malam, beberapa kali hampir padam namun bara itu kembali menyala ketika angin agak reda. Tiba-tiba ia ingat kembali kain kafan itu.
Ia mengambil kain kafan itu dan mengumpannya ke api dari lilin kecil.
Api menjilati kain kafan itu dan memakannya sampai habis
Matanya kembali perih, entah karena asap kain kafan, atau karena Ghirah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H