Siangnya di kantor ia merasa ngatuk karena kurang istirahat kemarin. Tapi kesibukan hari Senin membuatnya tidak punya banyak waktu untuk memikirkan mimpi semalam. Ia hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya secepatnya supaya bisa pulang cepat. Saat makan siang Memet menyempatkan diri mencari berita perkembangan Bom Samarinda. Bom yang menghanguskan anak-anak membekas didalam hati bagaikan stempel bara yang menandai ternak. Ia mendapatkan bahwa salah satu balita korban ledakan bom Molotov akhirnya meninggal, karena luka yang dideritanya terlalu berat untuk ditanggung tubuhnya yang mungil. Intan dan kawan-kawanya tidak sempat menyaksikan Supermoon.
Ia tercenung
Matanya nanar. Perih.
Air matanya mengalir, semakin deras.
Badannya terguncang sesegukan
***
Malam itu diteras rumahnya bersama istri dan putrinya, Memet menyaksikan supermoon begitu indah. Dan bersyukur kepada Tuhan karena langit cerah. Setelah istri dan putrinya mengantuk dan masuk ke kamar untuk tidur. Memet menyalakan sebatang lilin. ia memandang liuk-liuk lilin diterpa angin malam, beberapa kali hampir padam namun bara itu kembali menyala ketika angin agak reda. Tiba-tiba ia ingat kembali kain kafan itu.
Ia mengambil kain kafan itu dan mengumpannya ke api dari lilin kecil.
Api menjilati kain kafan itu dan memakannya sampai habis
Matanya kembali perih, entah karena asap kain kafan, atau karena Ghirah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H