Tapi bagaimana kalau Mesjidnya yang tidak taat aturan?
Inilah letak kesulitannya karena peraturan itu hanya sekedar himbauan tanpa ada sanksinya. Pun tidak ada penjelasan bagaimana sih Azan yang enak, sahdu dan merdu itu. Kalau kita pakai logika, kuping manusia itu masih nyaman menerima intensitas suara disekitar 70dB, lebih dari itu apalagi berkepanjangan adalah polusi suara. Namun apakah mungkin setiap toa masjid diuji berapa dB? Lalu apa alasannya kalau ada masjid yang menyetel volume toanya ke tingkat “earth shattering” alias mengguncang bumi? Saya tidak ada penjelasan yang logis selain menganggap umatnya tidak punya kuping, maka volume toa harus bisa menggetarkan daun pintu dan jendela dan tempat tidur bak gempa bumi supaya pada bangun.
Lalu apakah saya bisa protes?
Sebaiknya tidak jika saya mau selamat, kecuali saya level Presiden atau Wapres, karena Cuma Gus Dur dan JK yang pernah protes dan tidak diamuk massa. Kalau anda minoritas protes ya seperti Ibu Meliana itulah nasibnya, kalau anda gak sayang nyawa setidaknya pikirkanlah nasib Vihara, Gereja atau Pura orang lain. Jangankan Ibu Meliana yang kaum minoritas, yang mayoritas saja protes bisa berabe. Coba lihat berita tahun 2013 ini, seorang kakek bernama Sayed Hasan (ingat e-nya 1 kalau e-nya 2 jadi najis nanti) yang berumur 75 tahun, warga Desa Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Kota Banda Aceh, nyaris diamuk massa karena protes pengeras suara Mesjid. Bedanya dengan Ibu Meliana hanya di kata “nyaris”.
Jadi lain kali kalau anda terganggu pengeras suara masjid yang tidak sesuai aturan maka sebaiknya minta dokter THT untuk merusak gendang telingamu, karena sesungguhnya anda hidup di NEGERI TANPA TELINGA!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H