"Tetap sekolah bu, hari ini waktu pelajarannya Pak Alif, aku harus masuk sekolah!"
"Ya, sudahlah kalau begitu."
Di kamar mandi kucoba wajahku kutenggelamkan di air, kemudian kuatur nafasku. Rasa kantukku hilang, namun kesedihan ini belum hilang. Aku berwudu, air mataku masih mengalir bersama sisa-sisa air mustakmal.
***
Selesai salat subuh, kurapikan tempat tidurku. Di bawah bantal masih ada foto Dea, melihat fotonya hatiku semakin rapuh, senyum manisnya tak ingin menjauh.
Pukul 06:00, Aku berangkat sekolah dan pamitan Ibu. "Dit, hati-hati di jalan!"
Sambil berusaha melupakan dia, ku kayuh sepedaku sekencang mungkin. Tiba di sekolah, pak Alif memakirkan sepeda scoopynya. Aku menyalaminya, "Assalamualaikum Pak Alif!" Ucapku. "Waalaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh, bagaimana kabarnya?" Tanya Pak Alif
"Kamu habis nangis ya Dit, habis umrah seharusnya bahagia." Ledek Pak Alif. Aku diam dan menuju ke masjid sekolah untu Duha. "Ada apa, ceritakan masalahmu Dit!" Pinta Pak Alif.
Di masjid kuceritakan semua tentang gejolak jiwaku, gejolak hatiku. "Dit, intinya kamu harus ihlas dulu, dengan ihlas hatimu akan menerima kenyataan. Kalau kamu tidak ihlas, maka semua masalah yang menghampirimu akan menjadi beban hidupmu" Pak Alif mencoba mengobati hatiku.
"Harus ihlas ya pak!"
"Ihlaskanlah kenangan indahmu bersama Dea, atau saat-saat indah bersamanya yang sulit dilupakan. Relakanlah Dea, kan dia saudaramu. Berfikirlah, bahwa Dea sekarang adalah saudaramu sendiri"