Mohon tunggu...
M Abd Rahim
M Abd Rahim Mohon Tunggu... Guru - Guru/Dai
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

GPAI SMK PGRI 1 SURABAYA, Ingin terus belajar dan memberi manfaat orang banyak (Khoirunnas Anfa'uhum Linnas)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Guruku Adalah Obat Hatiku

18 November 2022   15:46 Diperbarui: 20 November 2022   06:16 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri/Dioalah dengan canva.com

Guruku Adalah Obat Hatiku

Oleh: M. Abd. Rahim

***

Baca juga: Hubungan Terlarang

Malam itu langit memberikan kesaksian, bulan telah bersinar terang. Namun tiba-tiba berubah menjadi hitam, suara guntur bersahutan dan hujan mulai turun. Bunga-bunga mulai layu, selayu hati Radit. Bunga yang bermekaran indah di taman kini terjatuh ke bumi, terbawa angin satu demi satu terlepas dari keindahannya. Hati Dea mulai kecamuk, mulai luntur rasa cintanya kepada radit. Satu harapan, mulai terkikis oleh keadaan. Semua harus menerima demi kebaikan bersama.

"Umi, umi, harus kuat Umi,"Ucap Dea, matanya menggenang samudra kepedihan. Hatinya sesak, apalagi menyaksikan Uminya tidak sadarkan diri.

"Dea, maafin kami. Karena penjelasan Ibuku semua berubah menjadi seperti ini." Kataku sambil mendekati Uminya dan menenangkan Dea.

Dea menatapku, hatiku masih luntur. "Andaikan saja hubungan ini masih lanjut, Aku akan bahagia bersamanya. Dea, kaulah yang menumbuhkan cinta dalam sukma ini, dan tumbuh begitu indah. Tapi tak mungkin, kau adalah saudaraku sendiri!"

Setelah beberapa menit Pak Haji menemani istrinya yang berbaring di ruang tamu. "Dea.., Radit..,!" Ibu Dea memanggilku dan juga Dea.

"Umi sudah siuman, ya ada apa Mi!" Tanya Dea. Aku diam menghampirinya.

"Kalian kini bersaudara, hapus perasaan kalian. Tidak ada lagi cinta diantara kalian!"

"Maafin Umi ya!"

Aku manggut dan bersedih belum bisa menerima kenyataan. "Hatiku mulai terluka, hatiku akan hampa tanpa Dea!" Bisikku dalam hati

Umi Romlah mencoba bangkit dari tempat tidurnya. "Bu Nur, terimakasih atas bantuannya waktu dulu, kalau tidak ada kamu Dea tak ada di dunia ini" Katanya sambil duduk

"Waktu dulu, Abah sudah mencari susu formula kemana-mana, di toko bayi, dan di toko-toko lain sudah tutup." Umi Romlah menjelaskan

"Terimakasih sudah menolong keluarga kami."

"Ya sama-sama Umi, maafkan saya bila ada salah." Balas Ibuku

***

Setelah keluarga pak Haji Nasrul pulang dari gubuk kami. Malam itu sebelum tidur, aku salat isya lebih dulu, pikiranku terganggu, hatiku gelisah. "Tidak menyangka saja bahwa Dea adalah saudaraku sendiri. Ya Allah, tolonglah aku!" Do'aku sambil memandang langit-langit kamar. Semakin aku khusuk dalam doa, bayangan Dea semakin mengikutiku. Aku mencoba membaca kitab suci beberapa lembar, tapi air mataku semakin mengalir membasahi hati. Wajah Dea semakin dilupakan, semakin menjelma indah kerinduan.

"Dit, belum tidur!" Ibuku memasuki kamarku menasihatiku dan mencoba menenangkan keadaanku. Membaca kitab suci kusudahi, Ibu keluar, aku berusaha untuk memejamkan mata. Kubaca Do'a sebelum tidur dan membaca Basmamalah 21 kali, juga belum bisa tidur.

***

Waktu subuh sudah lewat setengah jam, aku baru bangun tidur dan ke kamar mandi. Menjumpai ibuku di dapur, dia berkata"Dit, matamu bengkak. Apa kamu hari ini izin sekolah?"

"Tetap sekolah bu, hari ini waktu pelajarannya Pak Alif, aku harus masuk sekolah!"

"Ya, sudahlah kalau begitu."

Di kamar mandi kucoba wajahku kutenggelamkan di air, kemudian kuatur nafasku. Rasa kantukku hilang, namun kesedihan ini belum hilang. Aku berwudu, air mataku masih mengalir bersama sisa-sisa air mustakmal.

***

Selesai salat subuh, kurapikan tempat tidurku. Di bawah bantal masih ada foto Dea, melihat fotonya hatiku semakin rapuh, senyum manisnya tak ingin menjauh.

Pukul 06:00, Aku berangkat sekolah dan pamitan Ibu. "Dit, hati-hati di jalan!"

Sambil berusaha melupakan dia, ku kayuh sepedaku sekencang mungkin. Tiba di sekolah, pak Alif memakirkan sepeda scoopynya. Aku menyalaminya, "Assalamualaikum Pak Alif!" Ucapku. "Waalaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh, bagaimana kabarnya?" Tanya Pak Alif

"Kamu habis nangis ya Dit, habis umrah seharusnya bahagia." Ledek Pak Alif. Aku diam dan menuju ke masjid sekolah untu Duha. "Ada apa, ceritakan masalahmu Dit!" Pinta Pak Alif.

Di masjid kuceritakan semua tentang gejolak jiwaku, gejolak hatiku. "Dit, intinya kamu harus ihlas dulu, dengan ihlas hatimu akan menerima kenyataan. Kalau kamu tidak ihlas, maka semua masalah yang menghampirimu akan menjadi beban hidupmu" Pak Alif mencoba mengobati hatiku.

"Harus ihlas ya pak!"

"Ihlaskanlah kenangan indahmu bersama Dea, atau saat-saat indah bersamanya yang sulit dilupakan. Relakanlah Dea, kan dia saudaramu. Berfikirlah, bahwa Dea sekarang adalah saudaramu sendiri"

"Aku harus ihlas, semoga dengan keihlasanku ini menjadi obat hatiku." Kataku dalam hati

"Terimakasih Pak Alif, kaulah guruku yang mengerti keadaanku."

***

Surabaya, 18 November 2022

Naskah ke-19, tantangan dari Dokjay 30 Hari Menulis di Kompasiana

***

Silahkan Baca Juga Naskah Sebelumnya:

Naskah ke-1 : Guruku Adalah Orang Tuaku

Naskah ke-2: Sekolahku Adalah Surgaku

Naskah ke-3: Satu Visi, Satu hati

Naskah ke-4: Tragedi di Warung Pak Sugi

Naskah ke-5: Doa Bersama Untuk Para Guru Indonesia

Naskah ke-6: Ibu dan Guruku Melarangku Pacaran

Naskah ke-7: Madu Guru, Buah Manis Cita-cita Siswa

Naskah ke-8: Teman Kerja Adalah Guruku

Naskah ke-9: Berguru pada Pangeran Diponegoro

Naskah ke-10: Berguru pada Sunan Kalijaga

Naskah ke-11: Si Kebaya Merah

Naskah ke-12: Kangen Masakan Ayah

Naskah ke-13: Guruku Inspirasiku, Karenamu Ada Toko Online

Naskah ke-14: Berkah Digitalisasi Warung Pak Sugi

Naskah ke-15: Cinta Bersmi, Kembali dari Tanah Suci

Naskah ke-16: Cinta Segitiga

Naskah ke-17: Ledakan Itu, Melukai Dua Hati

Naskah ke-18: Hubungan Terlarang

Naskah ke-19: Guruku Adalah Obat Hatiku

Naskah ke-20: Ibuku Awet Muda, Apa Rahasianya?

Naskah ke-21: Di Ujung Waktu; 8 Miliar Manusia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun