Oleh: M. Abd. Rahim
***
Teman-temanku sekelas sudah pulang, begitu juga Irine. "Semoga dia tidak kenapa-napa" Doaku menghawatirkan dia.Â
Ibuku masih menemani Pak Anam, Mas Kris, Pak Haji Nasrul dan Istrinya. Begitu juga Mbak Clarissa mereka masih berkumpul di ruang tamu. Ibuku menjamu seadanya, air putih dan teh hangat. Malam itu, bulan menampakkan cahayanya. Aku dan Dea mengobrol sendiri di depan rumah. Sesekali Aku meminta maaf kepadanya atas kejadian barusan. Aku khawatir hubunganku hanya seumur jagungÂ
"Maafinku ya Dea. Jangan ngambek, manisnya hilang loh!" Aku meminta maaf sambil menggoda dia, agar tersenyum lagi. Dari luar kami mendengar pembicaraan mereka.
"Bagaimana kelanjutannya Pak Anam dengan Ibu" Tanya Pak Haji
 "Saya terserah ibu Nur mawon!" Jawab Pak Anam
Mas Kris tersenyum karena akan mempunyai Ibu lagi.
"Tidak dibersamakan saja pernikahannya dengan Radit!" Pak Haji menawarkan agar Dea putrinya menikah dengan anaknya, Radit.
"Radit masih sekolah Abah, baru kelas XII!" Bu Nur menolak
Pak Haji Nasrul ingin menyegerakan pernikahan anaknya, karena zaman sekarang banyak perempuan yang kehilangan kesuciannya. Pak Haji juga merasa sudah tua, ingin segera menyaksikan kebahagiaan anak putri satu-satunya.Â
Pak Haji sangat khawatir kalau usia remaja putrinya, hanya dibuat permainan oleh laki-laki yang tidak tanggung jawab. Beliau melihat pribadi Radit yang agamis, pekerja keras dan tangguh jawab. Di matanya hanya Radit yang cocok untuk putrinya.
"Ya baiklah Bu, nak Radit setelah lulus sekolah nanti kunikahkan dengan Dea!" Pak Haji menyerah.
"Njih Abah, mohon bimbingannya jikalau Radit bermain di rumah Abah!" Ibuku menerima perjodohanku dengan Dea.
Malam semakin larut, mereka semua izin pulang. Mereka menjabati salam kepada ibuku, ketika ibuku menatap jelas wajah ayu Dea mendapati kejanggalan ada tanda hitam di bawah bibir Dea. Sepertinya ibuku mengenal tanda tersebut.
"Berhenti dulu nak Dea, apakah kamu lahir di rumah sakit Hasanah?" Tanya Ibuku
"Njih Bu, Dea lahir di rumah sakit Hasanah." Ibu Dea menjawabnya
"Radit juga di Hasanah, kami 7 hari di sana!"
Ibunya Dea terheran, kemudian terhenti.
"Mohon ibu berkenan duduk lagi, ada hal yang penting untuk dibicarakan!" Pinta ibuku
Aku keheranan dan bingung, kenapa Ibuku mengajak keluarga pak Haji kembali duduk.
"Mohon ceritakan, memangnya ada masalah apa? Teriak pak Haji
"Mohon maaf pak Haji, nak Dea pernah saya beri ASI ketika ibu masih dirawat di ruang operasi. Waktu itu tengah malam, bayi Dea kehausan. Saat itu, di rumah sakit tidak ada persediaan susu. Saya melihat suster mondar-mandir mencari bantuan.Â
"Ibu bisakah minta tolong untuk memberi ASI pada si jabang Bayi!" Pinta suster kala itu
"Aku mengikuti arah jalan suster tersebut." Kata Ibuku "Kala itu pak Haji keluar mencari susu. Bayi Dea kehausan, menangis terus. Atas permintaan suster Aku memberi ASI pada Dea."
"Astaga, itu kamu Bu Nur!" Sahut pak Haji
"Saat itu Aku mencarimu, kata suster kalian udah pulang dari rumah sakit. Berarti Dea dan Radit hubungannya tidak bisa dilanjutkan." Teriak pak Haji
"Kenapa Abah?" Tanya Dea. "Saya sudah terlanjur suka sama Mas Radit, bah!" Dea meneteskan air mata begitu deras.
Air mataku juga mengalir deras menjawab semua keadaanÂ
"Abah minta maaf, Kamu dan Radit adalah saudara susuan." Pak Haji matanya mulai memerah
"Pak Haji juga minta maaf Dit, di dalam Islam, Dea adalah muhrimmu, wanita yang haram kamu nikahi"
"Bruukkk"
Ibu Dea tiba-tiba jatuh pingsan.Â
***
Surabaya, 17 November 2022
Naskah ke -18, tantangan dari dokjay 30 hari menulis di kompasiana
***
Silahkan Baca Juga Naskah Sebelumnya:
Naskah ke-1 : Guruku Adalah Orang Tuaku
Naskah ke-2: Sekolahku Adalah Surgaku
Naskah ke-3: Satu Visi, Satu hati
Naskah ke-4: Tragedi di Warung Pak Sugi
Naskah ke-5: Doa Bersama Untuk Para Guru Indonesia
Naskah ke-6: Ibu dan Guruku Melarangku Pacaran
Naskah ke-7: Madu Guru, Buah Manis Cita-cita Siswa
Naskah ke-8: Teman Kerja Adalah Guruku
Naskah ke-9: Berguru pada Pangeran Diponegoro
Naskah ke-10: Berguru pada Sunan Kalijaga
Naskah ke-11: Si Kebaya Merah
Naskah ke-12: Kangen Masakan Ayah
Naskah ke-13: Guruku Inspirasiku, Karenamu Ada Toko Online
Naskah ke-14: Berkah Digitalisasi Warung Pak Sugi
Naskah ke-15: Cinta Bersmi, Kembali dari Tanah Suci
Naskah ke-16: Cinta Segitiga
Naskah ke-17: Ledakan Itu, Melukai Dua Hati
Naskah ke-18: Hubungan Terlarang
Naskah ke-19: Guruku Adalah Obat Hatiku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H